• Peradaban Amerika

  • Permulaan Islam

  • Peradaban Eropa

  • Peradaban Asia

  • Peradaban Afrika

  • Promo Pendaftaran Mahasiswa baru

Friday 23 December 2016

PERADABAN AFRIKA


Afrika ..., kata tersebut sudah sangat familiar ditelinga kita yang telah belajar sejarah di sekolah. Afrika merupakan benua terbesar kedua di dunia dan juga menjadi benua dengan penduduk terbanyak dengan sepertujuh populasi dunia setelah Asia. Afrika juga sering dikenal sebagai benua hitam karena mayoritas penduduknya memanglah dari ras negroid yang berkulit hitam akan tetapi bukan berarti kata Afrika tersebut bermakna hitam. Kata Afrika diketahui berasal dari bahasa latin yaitu Africa terrayang berarti tanah afri (bentuk jamak dari “Afer”). Sementara kata Afer ini berasal dari bahasa Fenisia yaitu Afar yang berarti debu, atau juga dari suku Afridi yang mendiami bagian utara benua dekat Kartago, atau juga dari bahasa Yunani yaitu Aphrike yang berarti tanpa dingin.
Dari semua asal kata tersebut Afrika menurut beberapa ahli yang tidak saya sebutkn namanya, secara sejarahnya diketahui bahwa merupakan tempat tinggal manusia yang paling awal dan dari benua ini manusia kemudian menyebar ke benua-benua lainnya. Dari hal itu, maka Afrika merupakan tempat yang dimana terjadinya garis evolusi kera menjadi berbeda dari protohuman pada tujuh juta tahun yang lalu. Sehingga Afrika merupakan satu-satunya benua yang ditinggali nenek moyang manusia hingga sekitar dua juta tahun lampau ketika Homo Erectus berkembang keluar Afrika menuju Eropa dan Asia yang kemudian dari benua-benua tersebut mereka mengalami evolusi yang berlainan dan menjadi spesies yang berbeda dan berakhir menjadi Homo Sapiens. Nah pendapat tersebut diatas sangat tidak sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri yang bukan berevolusi dari kera atau manusia kera berjalan tegak. Faham tersebut sengaja disebarkan agar menjerumuskan pemikiran manusia untuk melupakan Tuhan penciptanya. Sehingga seolah-olah para ahli yang punya faham manusia adalah hasil evolusi dari kera, berkenyakinan bahwa semua proses evolusi itu berjalan dengan sendirinya. Yang sebenarnya adalah manusia itu benar adanya di ciptakan oleh Tuhan dengan manusia pria pertama adalah Adam AS. dan manusia wanita pertama adalah Hawa. Sedangkan yang berevolusi tersebut adalah pola pemikiran manusia yang semakin maju untuk menciptakan teknologi dan peradaban, bukan perubahan bentuk kera ke manusia.
Dengan adanya hal tersebut tentunya Afrika mempunyai jejak sejarah yang cukup panjang dengan mulai munculnya beberapa peradaban-peradaban kuno yang mengawali dari kehidupan manusia yang bahkan juga merupakan salah satu dari peradaban kuno tertua di dunia. Peradaban-peradaban tersebut yaitu peradaban Kartago yang sekarang menjadi Tunisia yang terletak di Afrika Utara, Aksum yang sekarang menjadi Ethiopia, Khus yang sekarang menjadi Sudan, Peradaban kerajaan-kerajaan dagang di Afrika Barat (Ghana, Mali, Sohai), dan juga Benin yang berada di Afrika Tengah.
A.      Kartago (Tunisia) di Afrika Utara
Kartago yang dalam bahasa Fenisia yaitu Qart Hadasht atau dalam bahasa Inggris Carthage yang berarti kota baru merupakan peradaban yang berpusat di kota Kartago yang terletak di Afrika Utara di Teluk Tunis yang sekarang dikenal sebagai Tunisia. Peradaban tersebut didirikan pada tahun 814 SM. Semula merupakan jajahan Tirus dan Kartago meraih kemerdekaannya sekitar tahun 650 SM dan mendirikan hegemoni dipemukiman Fenisia yang lain. Karena lokasi dari Kartago yang strategis dengan penduduknya menjadi saudagar kapal sehingga dapat membangun koloni di Spanyol dan Selatan Italia.
Kartago adalah kota pelabuhan besar yang terletak di pantai Tunisia modern. Kartago merupakan negara-kota yang kuat. Di Mediterania Barat, hanya Romawi yang dapat menyaingi kekuasaan, kekayaan dan populasi Kartago. Sementara angkatan laut Kartago merupakan yang terbesar di dunia kuno pada saat itu, Kartago tidak memiliki angkatan bersenjata yang besar dan permanen, namun bergantung pada tentara bayaran dan menyewanya untuk peperangan. Namun, kebanyakan perwira yang mengkomandokan tentara adalah penduduk Kartago. Kartago terkenal akan kemampuan mereka sebagai pelaut, dan tidak seperti angkatan bersenjata mereka yang dari kelas bawah bekerja di angkatan laut yang menyediakan karir dan pendapatan yang cukup. Kemampuan mereka yang sangat ulung dalam melaut merupakan warisan dari bangsa pendiri dari Kartago sendiri yaitu bangsa Funisia. Bangsa Funisia, yaitu orang-orang yang hidup di wilayah Levant, pantai timur dari Laut Mediterania yangsekarang adalah wilayah Lebanon yang dimana mereka berasal dari daerah Kanaan. Dengan laut di depan dan pegunungan di belakang punggung maka mereka tidak tertarik untuk bercocok tanam tetapi orang Funisia menjadi bangsa yang gemar berlayar. Lebih dari itu, mereka mereka merupakan bangsa pelaut terbesar pada zaman kuno dan menjadi kekuatan dagang maritim terbesar pertama di dunia dan menjadi benar-benar sedemikian kuat selama berabad-abad. Mereka jugalah orang-orang pertama di Timur Tengah kuno yang senantiasa menjalin hubungan dengan bangsa Eropa. Dengan cara inilah pelayaran-pelayaran mereka menjadi sebuah titik balik dalam sejarah dunia. Sebelum bangsa Funisia, tidak ada orang yang dengan sengaja mengambil langkah-langkah tertentu untuk memperluas hubungan dagang dengan mereka yang tinggal ditempat-tempat yang secara harfiah dijuluki sebagai ujung-ujung dunia.
Dengan kemampuan yang dimiliki oleh bangsa Funisia itu maka untuk menyediakan tempat peristirahatan bagi armada kapal pedagang, untukmempertahankan monopoli Fenisia di sumber daya alam daerah, atau untukmelakukan perdagangannya sendiri, warga Fenisia mendirikan kota-kota kolonial disepanjang pantai Mediterania. Mereka dirangsang untuk mendirikan kota-kota mereka oleh kebutuhan untuk revitalisasi perdagangan untuk membayar upeti kepada Tirus, Sidon, dan Byblos oleh suksesi kerajaan yang memerintah mereka dan oleh karena rasa takut terhadap kolonisasi Yunani di bagian Mediterania tersebut yang cocok untuk perdagangan. Warga Fenisia kekurangan populasi atau keperluan untuk mendirikan kota-kota mandiri di luar, dan kebanyakan kota memiliki penduduk kurang dari seribu, tapi Kartago dan beberapa kota lainnya berkembang menjadi kota-kota besar.
Kurang lebih 300 koloni didirikan di Tunisia, Maroko, Aljazair, Iberia, dan dengan tingkat lebih rendah di pantai kering Libia. Warga Fenisia mengendalikan Siprus, Sardinia, Korsika, dan Kepulauan Balearik, serta sedikit harta benda di Pulau Kreta dan Sisilia. Pemukiman berikutnya berada dalam konfilik terus menerus denganYunani. Warga Fenisia berhasil mengendalikan semua wilayah Sisilia untuk beberapa waktu. Seluruh wilayah kemudian berada di bawah kepemimpinan dan perlindungan Kartago, yang pada gilirannya mengutus orang-orangnya untuk membangun kota-kota baru atau untuk memperkuat pihak yang menolak Tirus dan Sidon. Koloni pertama didirikan pada dua jalur ke sumber mineral Iberia, sepanjang pantai Afrika Utara dan di Sisilia, Sardinia dan Kepulauan Balearik. Pusat dunia warga Fenisia adalah Tirus, yang berfungsi sebagai pusat ekonomi dan politik. Kekuatan kota ini berkurang setelah banyak pengepungan dan akhirnya dihancurkan oleh Alexander Agung, dan peran sebagai pemimpin diberikan ke Sidon, dan akhirnya ke Kartago. Setiap koloni membayar upeti baik kepada Tirus atau Sidon, tapi tak satupun yang memiliki kendali sebenarnya terhadap koloni-koloni. Hal ini berubah dengan munculnya Kartago, karena warga Kartago menunjuk pembesarnya sendiri untuk memerintah kota-kota dan Kartago memperoleh banyak kontrol langsung atas koloni-koloni. Kebijakan inimengakibatkan sejumlah kota Iberia berpihak pada Roma selama Perang Punisia.
Sebelum terjadinya perang Punisia, terdapat beberapa perang akibat dari perluasan wilayah yang dilakukan oleh bangsa Punisia tersebut yaitu :

Perang Sisilia Pertama
Keberhasilan ekonomi Kartago, dan ketergantungannya pada proses pengiriman untuk melakukan sebagian besar perdagangan, menyebabkan terbentuknya angkatan laut Kartago yang kuat. Hal ini ditambah lagi dengan keberhasilan dan hegemoninya yang berkembang, membawa Kartago ke peningkatan konflik dengan orang-orang Yunani dari Syracuse, yang merupakan kekuatan besar lainnya yang bersaing untuk mengendalikan Mediterania pusat.
Pulau Sisilia, yang terletak di depan pintu Kartago, menjadi arena di mana konflik ini dimainkan. Dari awalnya, baik Yunani maupun Fenisia telah tertarik pada pulau besar tersebut, mereka mendirikan sejumlah besar koloni dan pos perdagangan di sepanjang pantainya, pertempuran telah terjadi di antara kedua pemukiman ini selama berabad-abad.
Pada tahun 480 SM, Gelo yaitu pemimpin tiran dari Syracuse Yunani dengan didukung oleh sebagian negara kota Yunani lain, berusaha untuk menyatukan pulau ini di bawah pemerintahannya. Ancaman ini tidak dapat diabaikan, dan Kartago mungkin sebagai bagian dari aliansi dengan Persia kemudian terlibat kekuatan militer di bawah kepemimpinan jendral Hamilcar. Hamilcar memiliki tiga ratus ribu orang yang meski hampir berlebihan seharusnya merupakan kekuatan tangguh. Namun, pasukan Hamilcar berkurang dalam perjalanan ke Sisilia karena cuaca buruk dan kemudian mendarat di Panormus (sekarang Palermo) dengan menghabiskan 3 hari untuk reorganisasi paukan dan memperbaiki armadanya. Warga Kartago berbaris di sepanjang pantai ke Himera dan berkemah sebelum terlibat dalam Pertempuran Himera. Hamilcar entah tewas dalam pertempuran atau bunuh diri karena malu. Akibatnya bangsawan menegosiasikan perdamaian dan menggantikan monarki lama dengan republik.

Perang Sisilia Kedua
Pada tahun 410 SM, Kartago telah pulih setelah kekalahan serius. Ia telah menaklukkan sebagian besar wilayah Tunisia modern, memperkuat dan mendirikan koloni baru di Afrika Utara. Walaupun pada tahun itu koloni Iberia memisahkan diri yang akhirnya memotong suplai utama perak dan tembaga Kartagog. Kemudian Hannibal Mago, cucu dari Hamilcar memulai persiapan untuk merebut kembali Sisilia, sementara ekspedisi itu juga dipimpin ke Maroko dan Senegal juga ke Atlantik. Pada tahun 409 SM, Hannibal Mago berangkat ke Sisilia dengan kekuatannya. Dia berhasil menguasai kota-kota kecil Selinus (Selinunte modern) dan Himera sebelum kembali ke Kartago penuh kemenangan dengan rampasan perang. Akan tetapi musuh utamanya Syracuse tetap tak tersentuh dan pada tahun 405 SM, Hanibal Mago memimpin ekspedisi Kartego kedua untuk mengklaim seluruh pulau. Namun kali ini ia bertemu dengan perlawanan sengit dan ketidakberuntungan. Selama pengepungan Agrigentum, pasukan Kartago dilanda wabah dan Hannibal Mago sendiri mengalah untuk itu. Meskipun penggantinya, Himilco berhasil memperpanjang operasi militer dengan menghancurkan pengepungan Yunani, menguasai kota Gela dan berulang kali mengalahkan tentara Dionysius yang merupakan tiran baru Syracuse, dia juga dilemahkan oleh wabah dan dipaksa untuk memohon perdamaian sebelum kembali ke Kartago.
Pada tahun 398 SM, Dionysius telah memperoleh kembali kekuatannya dan melanggar perjanjian damai dan menyerang kubu Kartago di Motya. Akhirnya ia mengepung Syracuse itu sendiri. Pengepungan itu hampir berhasil sepanjang tahun 397 SM, tapi pada 396 SM lagi-lagi wabah melanda pasukan Kartago dan mereka runtuh. Sisilia setelah itu telah menjadi obsesi bagi Kartago. Selama 60 tahun berikutnya pasukan Kartago dan Yunani terlibat dalam serangkaian pertempuran terus menerus. Pada tahun 340 SM, Kartago telah sepenuhnya ditekan hingga ke sudut barat daya pulau itu dan perdamaian yang tak tenang memerintah atas pulau itu.

Perang Sisilia Ketiga
Pada tahun 311 SM Agathocles, (gubernur administrasi) sang tiran dari Syracuse menyerbu kepemilikan terakhir Kartago di Sisilia, melanggar persyaratan perjanjian damai
saat itu, dan mengepung Akragas. Agathocles diam-diam memimpin ekspedisi 14.000 orang ke daratan, berharap untuk menyelamatkan pemerintahannya dengan memimpin serangan balik ke Kartago itu sendiri. Meskipun tentara Agathocles akhirnya dikalahkan pada tahun 307 SM, Agathocles sendiri lolos kembali ke Sisilia dan mampu menegosiasikan perdamaian yang menjaga Syracuse sebagai benteng kekuasaan Yunani di Sisilia.

Perang Pyrrhic
Antara tahun 280 dan 275 SM, Pyrrhus dari Epirus melancarkan dua operasi militer besar di Mediterania barat, yaitu satu melawan kekuatan yang muncul dari Republik Romawi di Italia selatan, dan satunya lagi terhadap Kartago di Sisilia. Pyrrhus mengirim sebuah pengawalan depan ke Tarentium di bawah komando Cineaus dengan 3.000 infanteri. Pyrrhus membariskan pasukan utama di semenanjung Yunani dan terlibat dalam pertempuran dengan Tesalia dan tentara Athena. Setelah sukses awal gerakan tersebut Pyrrhus memasuki Tarentium untuk bergabung kembali bersama pengawalan depannya. Di tengah operasi militer Italia-nya, Pyrrhus menerima utusan dari kota-kota Sisilia di Agrigentum, Syracuse, dan Leontini, meminta bantuan militer untuk menghapus dominasi Kartago atas pulau itu. Pyrrhus setuju dan membentengi kota-kota Sisilia dengan tentara yang terdiri dari 20.000 infanteri dan 3.000 kavaleri dan 20 Gajah Perang dan didukung oleh sekitar 200 kapal. Awalnya, operasi militer Pyrrhus di Sisilia melawan Kartago sukses dan mendorong kembali pasukan Kartago serta menguasai benteng kota Eryx, meskipun ia tidak mampu menangkap Lilybaeum.
Menindaklanjuti kekalahan ini, Kartago memohon perdamaian tapi Pyrrhus menolak kecuali Kartago bersedia melepaskan sepenuhnya klaim terhadap Sisilia. Pyrrhus mengarahkan pandangan untuk menaklukkan Kartago itu sendiri dan untuk tujuan ini ia mulai merencanakan ekspedisi. Namun, perlakuan kejamnya pada kota-kota Sisilia dalam persiapannya untuk ekspedisi ini menyebabkan munculnya kebencian terhadap orang Yunani, sehingga Pyrrhus menarik diri dari Sisilia dan kembali untuk menangani peristiwa yang terjadi di Italia selatan.
Operasi militer Pyrrhus di Italia tidak meyakinkan, dan Pyrrhus akhirnya mundur ke Epirus. Bagi Kartago, ini berarti kembali ke status quo. Namun bagi Roma, kegagalan Pyrrhus untuk mempertahankan koloni di Magna Graecia berarti bahwa Roma menyerap mereka ke dalam lingkaran pengaruhnya, membawa lebih dekat ke dominasi utuh semenanjung Italia. Dominasi Roma akan Italia dan bukti bahwa Roma dapat mengadu kekuatan militernya dengan sukses melawan kekuatan internasional, akan membuka jalan ke konflik Roma dan Kartago di kemudian hari dalam Perang Punisia. Kemudian pada tahun 288 SM, sebuah kompi besar tentara bayaran Italia yang Menamakan diri Mamertines (anak-anak Mars) Mamertines menjadi ancaman bagi Kartago dan juga Syracuse. Pada tahun 265 SM, Hiero II, mantan jendral Pyrrhus dan tiran baru Syracuse, mengambil tindakan terhadap mereka. Dihadapkan pada kekuatan yang jauh lebih unggul, Mamertines terbagi menjadi dua faksi, satu meminta penyerahan kepada Kartago, yang lain lebih memilih untuk mencari bantuan dari Roma. Dengan adanya hal tersebut kemudian membuat keduanya berselisih dan serangan Romawi pada pasukan Kartago di Messana memicu Perang Punisia pertama.

Perang Punisia Pertama
Pada Perang Punisia Pertama (264 SM – 241 SM) pertempuran bukan hanya terjadi di daratan (Sisilia dan Afrika), namun juga di laut Mediterania. Beberapa perang laut yang besar juga terjadi. Perang ini berlangsung dengan sengit hingga akhirnya Kekaisaran Romawi menang dan menaklukan Sisilia setelah mengalahkan Kartago dalam Pertempuran Kepulauan Aegates yang mengakhiri perang ini. Akibat kekalahannya, Kartago mengalami guncangan politik maupun militer, sehingga Kekaisaran Romawi akhirnya dengan mudah merebut Sardinia dan Korsika ketika Kartago terjerumus kedalam perang tentara bayaran.

Perang Punisia Kedua
Pada Perang Punisia Kedua (218 SM – 202 SM), pasukan Kartago yang dipimpin oleh Hannibal menyeberangi Laut Mediterania, menyusuri Semenanjung Iberia kemudian Galia lalu ke daerah Alpen untuk menyerang Roma dari utara dan berhasil memenangkan sejumlah pertempuran penting di daratan Italia, seperti Pertempuran Trebia, Pertempuran Danau Trasimene dan Pertempuran Cannae. Namun ternyata kemenangan ini tidak cukup berarti untuk menjatuhkan Republik Romawi secara keseluruhan. Membalas kekalahannya, Kekaisaran Romawi balik menyerang Hispania, Sisila dan Yunani. Di saat yang sama, pertempuran juga terjadi di Afrika. Di sanalah, Kekaisaran Kartago berhasil dikalahkan dalam sebuah pertempuran di Zama. Hal ini mengakibatkan berkurangnya wilayah kekuasaan Kartago sehingga hanya menyisakan kota Kartago saja.

Perang Punisia Ketiga
Pada Perang Punisia Ketiga diwarnai dengan penyerangan Kekaisaran Roma langsung ke jantung Kekaisaran Kartago, Kota Kartago, pada tahun 149 SM-146 SM. Pada selang waktu antara akhir Perang Punisia Kedua dengan awal Punisia Ketiga, Republik Romawi berusaha memperluas wilayah menuju daerah peradaban Helenistik, yaitu dengan Kerajaan Seleukus, Makedonia, serta wilayah Illyria. Republik Romawi menang dan berhasil menghancurkan Kota Kartago, sekaligus menandai runtuhnya Kekaisaran Kartago. Kehancuran Kekaisaran Kartago tersebut terjadi pada abad ke-2 SM dan mengakibatkan terjadinya saling berganti kekuasaan Asing hingga menjadi negara Tunisia seperti sekarang ini. pada suatu masa Kartago pernah menjadi propinsi imperium Roma, kemudian beralih tangan menjadi bagian dari imperium Turki (Soeratman, 2012:110).


B.       Aksum (Ethiopia)
Aksum pusat dari negara Ethiopia mulai bangkit sekitar tahun 100 SM, menjadi kekuatan dagang utama pada akhir abad ke-1 M. Kerajaan ini menjadi kaya dengan menguasai pelabuhan dagang dupa Adulit di Laut Merah. Aksum menyediakan tempurung kura-kura, gading gajah, dan cula badak bagi Mesir, India, Persia dan Arab. Kejayaannya mencapai puncak dibawah Raja Ezana yang menjadi Kristen pada ±350 M. Pada 500 M, sebagian besar warganya telah menganut agama baru itu. pada 525 M, Kaleb yang merupakan salah satu penerus Ezana menaklukkan bagian barat Semenanjung Arab dan Aksum menguasai wilayah ini hingga 574 M. Dengan penyebaran Islam pada abad ke-7, monopoli Aksum di Laut Merah diambil alih pedagang Muslim (Black, 2009:161).
Kekaisaran Aksum atau Axum, juga dikenal sebagai Kekaisaran Aksumite, merupakan sebuah negara perdagangan diwilayah yang sekarang Eritrea dan utara Ethiopia, yang telah ada dari sekitar tahun 100–940 M. Negara tersebut tumbuh dari periode zaman besi proto-Aksumite pada abad ke-4 SM sampai mencapai zaman keemasannya diabad ke-1 M, dan merupakan pemain utama di dalam perdagangan antara Kekaisaran Romawi dan India Kuno. Para pemimpin Aksumite mempermudah perdagangan tersebut dengan mencetak mata uang mereka sendiri, negara itu mendirikan hegemoni atas penurunan Kerajaan Kush dan secara teratur memasuki politik kekaisaran pada Jazirah Arab, dan akhirnya memperluas kekuasaannya atas wilayah tersebut dengan penaklukan Kerajaan Himyarite.
Rakyat Aksumite membangun sejumlah prasasti yang digunakan untuk kepentingan agama dimasa pre-Kristen. Salah satu struktur kolom granit itu adalah yang terbesar didunia yang tingginya 90 kaki. Di bawah Ezana (fl. 320–360), Aksum menjadi Kristen. Pada abad ke-7, Muslim dari Mekah menghindar dari penganiayaan Quraysh dengan melakukan perjalanan ke Aksum tersebut, yang dikenal dalam Sejarah Islam dengan istilah Hijrah pertama. Ibukota lamanya yang juga disebut Aksum, terletak diutara Ethiopia. Kekaisaran ini menggunakan nama "Ethiopia" paling awal diabad ke-4. Diduga juga merupakan tempat peristirahatan dari Tabut Perjanjian dan diklaim sebagai rumah Makeda.
Kekaisaran Aksum berada pada puncak kejayaannya pada waktu diperânjang disebagian besar yang kini Eritrea, Ethiopia utara, Yemen barat, Arab Saudi selatan dan Sudan. Ibukota dari kekaisaran tersebut adalah Aksum, yang sekarang bagian utara Ethiopia. Hari ini sebuah komunitas kecil, kota Aksum pernah menjadi metropolis yang ramai, pusat budaya dan ekonomi. Dua bukit dan dua aliran berbaring dihamparan timur dan barat kota; mungkin memberikan dorongan awal untuk menyelesaikan daerah ini. Sepanjang perbukitan dan dataran luar kota, Aksumite memiliki makam-makam dengan batu pusara yang rumit yang disebut dengan Prasasti, atau Obelisk. Kota-kota penting lainnya termasuk Yeha, Hawulti-Melazo, Matara, Adulis, dan Qohaito, tiga kota terakhir yang sekarang adalah Eritrea.
Pada abad ke-3, Aksum mulai mencampuri urusan-urusan Arab Selatan, mengendalikan wilayah Tihama barat di antara wilayah lainnya. Hal ini mendominasikan negara-negara di Semenanjung Arab yang mneyeberangi Laut Merah, membuat mereka membayar Aksum sebuah upeti. Pada masa pemerintahan Endubis diakhir abad ke-3 mulai mencetak mata uang sendiri dan dinamakan oleh Mani sebagai salah satu dari empat kekuatan besar bersamaan dengan Persia, Roma, dan Cina. Pada masa itu, Aksum mengendalikan Ethiopia utara, Eritrea, Sudan utara, Mesir selatan, Djibouti, Yemen barat, dan Arab Saudi selatan, sejumlah 1.25 juta kilometer persegi.
Pada sekitar tahun 520, Kaleb mengirimkan sebuah ekspedisi ke Yemen untuk melawan Yahudi raja Himyarite Dhu Nuwas. Dhu Nuwas digulingkan dan dibunuh dan Kaleb menunjuk seorang Kristen Himyarite, Sumuafa Ashawa, sebagai raja mudanya. Namun disekitar tahun 525 raja muda ini digulingkan oleh seorang Jenderal Aksumite Abreha dengan dukungan rakyat Ethiopia yang menetap di Yemen, dan memotong upeti untuk Kaleb. Ketika Kaleb mengirim ekspedisi lain terhadap Abreha pasukan ini membelot dan membunuh komandan mereka serta bergabung dengan Abreha. Ekspedisi lain untuk melawan mereka dikirim dan meninggalkan Yemen dibawah kendali Abreha, dimana ia terus mempromosikan keyakinan Kristen sampai kematiannya tak lama setelah Yemen ditaklukkan oleh bangsa Persia. Menurut Munro-Hay perang-perang tersebut merupakan lagu Aksum sebagai kekuatan yang hebat yang memperlemah otoritas Aksumite dan pengeluaran uang dan tenaga kerja yang berlebihan. Menurut tradisi Ethiopia, Kaleb akhirnya turun takhta dan pensiun kesebuah biara. Mungkin juga bahwa Ethiopia dijangkiti oleh Wabah Yustinianus pada saat itu.
Aksum tetap kuat meskipun melemah, kekaisaran dan kekuasaan perdagangan sampai menyebarnya Islam diabad ke-7. Namun tidak seperti hubungan antara kekuatan Islam dan Kristen Eropa, Aksum (lihat Sahama), yang memberikan perlindungan bagi para pengikut Muhammad pada tahun 615 memiliki hubungan baik dengan negara tetangga Islamnya. Namun, setidaknya pada tahun 640, Umar ibn al-Khattāb mengirimkan sebuah ekspedisi angkatan laut melawan Adulis dibawah pimpinan Alkama bin Mujazziz, namun dapat dikalahkan. Kekuatan angkatan laut Aksumite juga menurun sepanjang masa, meskipun pada tahun 702 bajak laut Aksumite mampu menyerang Hijaz dan menduduki Jeddah. Namun sebagai balasannya, Sulayman ibn Abd al-Malik dapat mengambil Kepulauan Dahlak dari Aksum yang menjadi Muslim sejak saat itu meskipun dapat direbut kembali diabad ke-9 dan menjadi pengikut Kaisar Ethiopia.
Akhirnya Kekaisaran Islam menguasai Laut Merah dan sebagian besar Nil, memaksa Aksum kedalam isolasi ekonomi. Baratlaut Aksum yang sekarang Sudan, negara-negara Kristen Makuria dan Alodia berlangsung sampai abad ke-13 sebelum menjadi Islam. Aksum yang terisolasi masih tetap Kristen. Setelah jaman keemasan kedua diawal abad ke-6, kekaisaran mulai menurun dan akhirnya berhenti memproduksi koin diawal abad ke-7. Pada sekitar waktu yang sama, populasi Aksumite dipaksa untuk pergi lebih jauh kepedalaman dataran tinggi untuk perlindungan dan meninggalkan Aksum sebagai ibukota. Penulis-penulis Arab dimasa itu terus menggambarkan Ethiopia (tidak lagi disebut sebagai Aksum) sebagai negara yang luas dan kuat, meskipun mereka telah kehilangan kendali atas sebagian besar pantai dan sungai mereka. Sewaktu kehilangan lahan diutara, diselatan dimenangkan, dan meskipun Ethiopia tidak lagi menjadi kekuatan ekonomi masih menarik para pedagang Arab. Ibukota dipindahkan kelokasi baru, saat ini tidak diketahui, meskipun mungkin telah disebut Ku'bar atau Jarmi.
Sejarah setempat menyatakan bahwa sekitar tahun 960 seorang Ratu Yahudi yang bernama Yodit (Judith) atau "Gudit" mengalahkan kekaisaran tersebut dan membakar gereja-gereja beserta literaturnya, namun sementara ada bukti dari gereja-gereja yang dibakar dan invasi pada saat itu, keberadaannya telah dipertanyakan oleh beberapa penulis modern. Kemungkinan lain adalah bahwa kekuatan Aksumite diakhiri oleh seorang Ratu pagan selatan yang bernama Bani al-Hamwiyah, kemungkinan suku al-Damutah atau Damoti (Sidama). Hal ini jelas dari sumber-sumber kontemporer bahwa perampas perempuan memang memerintah negara pada saat itu dan bahwa pemerintahannya berakhir beberapa waktu sebelum tahun 1003. Setelah zaman kegelapan, Kekaisaran Aksumite digantikan oleh Agaw Wangsa Zagwe diabad ke-11 atau 12 (kemungkinan besar tahun 1137), meskipun terbatas dalam ukuran dan ruang lingkup. Namun Yekuno Amlak, yang membunuh raja Zagwe yang terakhir dan mendirikan Dinasti Salomo pada sekitar tahun 1270 menelusuri nenek moyangnya dan haknya untuk memerintah dari kaisar terakhir Aksum, Dil Na'od. Perlu disebutkan bahwa akhir dari Kekaisaran Aksumite tidak berarti akhir dari budaya dan tradisi Aksumite; misalnya arsitektur wangsa Zagwe di Lalibela dan Gereja Yemrehana Krestos menunjukkan pengaruh besar Askumite.
Alasan lain untuk penurunan lebih ilmiah secara alami. Perubahan iklim dan isolasi perdagangan kemungkinan juga merupakan alasan besar atas penurunan budaya. Penanaman berlebihan juga mengakibatkan penurunan hasil panen yang dapat menurunkan pasokan makanan.
Kekaisaran Aksum terkenal akan sejumlah prestasi seperti alfabetnya sendiri, alfabet Ge'ez yang akhirnya dimodifikasikan untuk menyertakan vokal, menjadi abugida. Selain itu, pada masa awal kekaisaran, sekitar 1700 tahun yang lalu, tugu-tugu raksasa dibangun untuk menandai makam-makam kaisar (dan bangsawan) (ruangan makam bawah tanah), yang paling terkenal adalah Tugu Aksum.
Dibawah pimpinan Kaisar Ezana, Aksum mengadopsi Kristen untuk menggantikan agama-agama Politeisme dan Agama Yahudi pada sekitar tahun 325. Hal tersebut melahirkan dihari ini yang disebut Gereja Ortodoks Ethiopia Tewahedo (hanya diberikan otonomi dari Gereja Coptic pada tahun 1953), dan Gereja Ortodoks Eritrea Tewahdo (diberikan otonomi dari Gereja Ortodoks Ethiopia pada tahun 1993). Karena perpecahan dengan ortodoksi diikuti dengan Konsili Khalsedon (451), gereja tersebut menjadi sebuah gereja Miafisitisme yang penting, injil dan liturgi terus berada di Ge'ez.
Sebelum konversi ke Kristen, rakyat Aksumite melakukan Politeisme agama yang berhubungan dengan agama yang dipraktekkan di Arabia selatan. Ini termasuk penggunaan simbol bulan sabit dan disk yang digunakan di Arab selatan dan utara. Di UNESCO yang mensponsori Sejarah Umum Afrika Arkelolog Perancis Francis Anfray menunjukkan bahwa pagan Aksumite menyembah Astar, putranya, Mahrem, dan Beher.
Steve Kaplan berpendapat bahwa dengan budaya Aksumite datang perubahan besar di dalam agama, dengan hanya Astar yang tersisa sebagai dewa-dewa kuno, yang lainnya digantikan dengan apa yang disebut "tiga serangkaian dewa pribumi, Mahrem, Beher dan Medr." Ia juga menunjukkan bahwa budaya Aksum secara signifikan dipengaruhi oleh Yudaisme, dan mengatakan bahwa “Operator pertama Yudaisme mencapai Ethiopia di antara munculnya kerajaan Aksumite pada awal Masehi dan konversi ke Kristen Kaisar Ezana pada abad keempat.” Ia percaya bahwa meskipun tradisi Ethiopia menunjukkan bahwa ini hadir di dalam jumlah besar, bahwa “Sebuah jumlah teks dan individu yang relatif kecil yang tinggal di pusat budaya, ekonomi, dan politik bisa memiliki dampak yang cukup besar.” dan bahwa “pengaruh mereka menyebar keseluruh budaya Ethiopia di masa pembentukannya Pada saat Kristen memegang peranan pada abad keempat, banyak dari awalnya elemen-elemen Hebraic-Yahudi telah diadopsi oleh banyak penduduk pribumi dan tidak lagi dipandang sebagai karakteristik asing. Mereka juga telah dianggap bertentangan dengan penerimaan Kristen.”
Sebelum konversi ke Kristen koin-koin Kaisar Ezana II dan prasasti-prasasti menunjukkan bahwa ia kemungkinan memuja dewa-dewa Astar, Beher, Meder/Medr, dan Mahrem. Prasasti-prasasti Ezana lainnya jelas-jelas Kristen dan menegaskan “Bapa, Putra, dan Roh Kudus.” Pada sekitar tahun 324 Kaisar Ezana II dikonversikan ke Kristen oleh gurunya Frumentius, pendiri Gereja Ortodoks Ethiopia. Frumentius mengajar kaisar ketika ia masih muda, dan diyakini bahwa pada beberapa titik dipentaskan konversi kekaisaran. Diketahui bahwa Aksumites menjadi Kristen karena di dalam koin mereka diganti disk dan bulan sabit dengan salib. Frumentius berhubungan dengan Gereja Aleksandria, dan ditunjuk sebagai Uskup Ethiopia pada sekitar tahun 330. Gereja Aleksandria tidak pernah berhasil berurusan erat dengan gereja-gereja di Aksum, yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan bentuk unik Kekristenan mereka sendiri. Namun Gereja Aleksandria mungkin tidak mempertahankan pengaruh mengingat bahwa gereja-gereja Aksum mengikuti Gereja Aleksandria kedalam Gereja Ortodoks Oriental dengan menolak Ekumenis Keempat Konsili Khalsedon. Aksum juga diduga rumah dari peninggalan suci Tabut Perjanjian. Tabut tersebut dilaporkan telah ditempatkan di dalam Gereja Perawan Maria di Zion oleh Menelik I untuk disimpan.
Meliputi bagian dari apa yang sekarang Ethiopia utara dan Eritrea, Aksum sangat terlibat di dalam jaringan perdagangan antara India dan Laut Tengah (Roma, kemudian Kekaisaran Romawi Timur), mengekspor gading, tempurung kura-kura, emas dan zamrud, dan mengimpor sutra dan rempah-rempah. Akses Aksum untuk kedua Laut Merah dan Nile bagian atas mengaktifkan angkatan laut yang kuat untuk mendapatkan keuntungan di dalam perdagangan antara berbagai negara Afrika (Nubia), (Yemen Arab), dan India.
Ekspor utama dari Aksum adalah, seperti yang diharapkan dari sebuah negara selama ini, yaitu produk-produk pertanian. Tanah itu jauh lebih subur selama masa Aksumite dari sekarang, dan tanaman pokok mereka adalah biji-bijian seperti gandum dan barley. Rakyat Aksum juga menternakkan sapi, domba dan unta. Hewan-hewan liar juga diburu seperti untuk gading dan tanduk badak. Mereka berdagang dengan pedagang Romawi, Mesir dan Persia. Kekaisaran ini juga kaya akan emas dan besi. Logam-logam tersebut sangat berharga bagi perdagangan namun mineral lain seperti garam juga cukup sering diperdagangkan.

C.      Khus (Sudan)
Negara di Afrika Tengah bagian timur ini, tak bisa dikesampingkan dari peta dunia Islam. Pertama, karena Sudan merupakan negara terluas di benua Afrika. Kedua, Sudan memiliki tokoh muslim terkemuka yang menggagas penerapan syariat Islam di sana, Dr. Hassan Turabi. Sayangnya, sejak merdeka dari Inggris pada 1 Januari 1956, negara besar ini tak pernah lepas dari konflik internal perebutan kekuasaan.
Penduduk Sudan yang paling dulu dikenal adalah orang Afrika kuno yang hidup disana dizaman batu. Di akhir masa seribu tahun ke-4 sebelum masehi, raja dari dinasti Mesir pertama menaklukan Nubia dan sesudah itu pengaruh kebudayaan Mesir tersebar ke hulu dan berkulminasi di masa berdirinya kerajaan Kush di Nubia.
Pertikaian dan perebutan kekuasaan, sudah mewarnai Sudan sejak ribuan tahun silam. Yaitu saat Raja Aksum dari Ethiopia, menghancurkan ibu kota Kerajaan Kush, Meroe. Kota tua itu dibangun raja-raja dari dinasti Mesir yang pertama datang ke Sudan Utara, sekitar tahun 4000 SM. Selanjutnya berdirilah dua kerajaan baru yaitu Maqurra dan Alwa. Pada tahun 1500-an, Maqurra jatuh ke tangan orang-orang Arab bersamaan dengan masuknya Islam ke Sudan. Setelah melakukan perkawinan campuran dengan suku Funj, orang Arab muslim menghancurkan Alwa. Selanjutnya dinasti Funj berkuasa hingga 1821.
Selanjutnya Sudan dikuasai Turki yang saat itu berada di bawah kekuasaan Mesir yang dibacking oleh Inggris. Gubernur Jenderal Muhammad Ali, memerintah secara keras. Rakyat setempat baru dilibatkan dalam pengambilan keputusan saat Muhammad Ali digantikan Ali Khursid Agha.
Hingga 1881, tak ada pemimpin yang mengorganisasi upaya perjuangan kemerdekaan Sudan, sampai akhirnya muncul figur Muhammad Ahmad. Pasukannya berhasil menguasai Khartoum pada 26 januari 1885. Namun perjuangan itu dipatahkan oleh pasukan Mesir-Inggris. Kemerdekaan Sudan diperoleh tiga tahun setelah pada Februari 1953, Mesir dan Inggris menyepakati pemberian hak untuk mengatur pemerintahan sendiri.
Pemerintahan di wilayah seluas 2,5 juta km2 dengan penduduk 29 juta itu sendiri tak pernah benar-benar stabil. Perang saudara di Sudan merupakan konflik terpanjang dalam sejarah Afrika. Pada 1972, pernah dicapai kesepakatan damai, tapi itu tak bertahan lama. Konflik menajam antara pemerintah pusat di Sudan Utara yang mayoritas muslim dengan kelompok-kelompok etnis di selatan yang dimotori Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA).
Islam memang menjadi agama yang dianut mayoritas (73 persen) penduduk Sudan. Sementara di selatan, masih banyak yang menganut kepercayaan tradisional (16,7 persen). Sudan berbatasan dengan Mesir dan Libya di utara, Zaire di selatan, Chad dan Ethiopia masing-masing di barat dan timur. Pada Juni 1989, Jendral Omar Hassan Ahmad Al Bashir didukung oleh Dr. Hassan Turabi melakukan kudeta tak berdarah atas pemerintahan presiden Jakfar Numeri. Dwi-tunggal Bashir dan Turabi memimpin Sudan masing-masing sebagai presiden dan ketua parlemen. Besarnya pengaruh Turabi sebagai ketua Partai Kongres Nasional, menimbulkan kecurigaan pada Bashir.
Pada Desember 1999, Bashir lantas membubarkan parlemen. Tak hanya itu, Turabi juga dipecat dari jabatan ketua partai berkuasa. Turabi membalasnya dengan mendirikan partai baru. Demi mengamankan kekuasannya, Bashir melakukan konsolidasi dan meminta dukungan negara tetangga seperti Mesir, Libya dan negara Barat serta Amerika Serikat.
Negara-negara Barat, seperti juga Bashir, memang menilai Turabi sebagai tokoh berbahaya dengan gagasannya menegakkan syariat Islam. Tak heran ketika Turabi masih berpengaruh, Sudan diisolasi dari pergaulan dunia dengan berbagai tudingan miring seperti pelanggaran HAM dan terorisme.
Pertikaian internal di Sudan yang tak kunjung henti, membuat perekonomian negara ini tak berdaya. Apalagi tanah di Sudan utara sangat kering, kecuali sebagian wilayah di sekitar Sungai Nil. Sementara lahan pertanian di Sudan selatan, tak produktif karena jauh dari jalan, pasar dan tak tersentuh sarana transportasi.
Padahal Sudan memiliki potensi tambang berupa emas, bijih besi dan tembaga. Sedangkan potensi pertaniannya adalah kapas, gandum, kacang tanah dan hewan ternak. Lonjakan pertumbuhan ekonomi yang cukup berarti terjadi pada 1979, saat ditemukan deposit minyak bumi di Sudan selatan yang kemudian dieksplorasi.
Kesenjangan Sudan utara dengan selatan nyata sekali. Secara etnis, keduanya juga memiliki perbedaan. Sudan utara ditinggali oleh mayoritas keturunan Arab yang meliputi tiga perempat penduduk Sudan. Maka bahasa Arab menjadi bahasa pengantar utama di Sudan. Sementara di selatan orang Negro yang dominan dengan beragam suku.

D.      Kerajaan-Kerajaan Dagang di Afrika Barat
1.      Ghana
Republik Ghana adalah sebuah negara di Afrika Barat yang berbatasan dengan Pantai Gading di sebelah barat, Burkina Faso di utara, Togo di timur, dan Teluk Nugini di selatan. Dahulu bernama Pesisir Emas, nama "Ghana" berasal dari Kekaisaran Ghana. Sebelum zaman penjajahan, Ghana diduduki oleh beberapa kekaisaran kuno, termasuk kekaisaran pedalaman di Ashanti dan berbagai negara Fante di sepanjang pantai.
Dahulu Ghana adalah Kerajaan besar pertama yang muncul di dataran Afrika Barat. Tidak ada yang tahu persis kapan kekaisaran ini muncul. Bukti menunjukkan bahwa orang-orang Afrika yang disebut Soninke memulai kekaisaran Ghana pertama sejak tahun 200-an masehi.
Republik Ghana dinamakan menurut Kekaisaran Ghana zaman pertengahan di Afrika Barat. Nama asli kekaisaran ini adalah Ouagadouogu. Ghana merupakan gelar raja yang memerintah kerajaan terkait dan juga diartikan “kepala perang”. Ghana digolongkan sebagai salah satu kerajaan-kerajaan dagang di kawasan Afrika Barat. Hal itu dikarenakan kondisi wilayah Ghana yang tumbuh subur, kekayaan alam yang melimpah. Ghana dikenal di seantero dunia sebagai Pesisir Emas. Negeri tersebut diperintah Sundiata, dan telah digabungkan ke Kekaisaran Mali yang lebih besar. (Kekaisaran Mali mencapai puncak kejayaannya di bawah Mansa Musa sekitar abad 13.)
Bangsa Soninke mendirikan sebuah ibu kota, Kumbi Saleh, di tempat yang sekarang terletak di barat daya Mauritania. Pertanian yang produktif, pasokan emas yang melimpah, serta kontrol pada rute perdagangan Gurun Sahara membuat masyarakat Kumbi Saleh hidup makmur serta kuat. Rute perdagangan Sahara menghubungkan Afrika tengah-barat dengan Laut Mediterania. Pajak atas barang yang keluar masuk kerajaan membuat para penguasa menjadi sangat kaya raya. Ghana mulai tumbuh dan mencapai puncak kejayaannya pada tahun 900 masehi dengan mengalahkan kerajaan tetangga dan menaklukkan kota dagang utama di Sahara, Awdaghust. Ghana yang saat itu dipimpin oleh Kekaisaran Ashanti yang mengambil alih rute perdagangan dengan negara-negara Eropa berkembang dengan pesat. Pihak Perancis yang tertarik dengan perhiasan menamakan kawasan barat di Ghana sebagai Pantai Gading.

2.      Mali
Mali dikenal juga sebagai Kekaisaran Manding adalah suatu peradaban Afrika Barat yang berasal dari bangsa Mandika pada abad pertengahan sekitar abad ke 1235 sampai abad 1610. Kekaisaran ini didirikan oleh Sundiata Keita. Mali juga terkenal akan kekayaan raja-raja penguasanya, terutama Raja Mansa Musa I. Kekaisaran ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kebudayaan Afrika Barat, karena menyebarluaskan pemakaian bahasa, hukum, dan adat istiadat yang diterapkan di daerah tersebut kepada daerah lainnya di sepanjang sungai Niger. Pada puncak kejayaannya, pejabat dan penguasa di Mali dianugrahkan dengan gelar kehormatan yang saat itu dikenal sebagai "penguasa yang paling mulia dan terkaya di antara penguasa lainnya". Kekuasaan kekaisaran Mali meliputi wilayah yang lebih luas dari Eropa Barat.
Kekaisaran Mali tumbuh subur karena perdagangan diatas segalanya. Kekaisaran ini memiliki tiga tambang emas besar di perbatasannya, tidak seperti kekaisaran Ghana, yang hanya merupakan tempat transit emas. Kekaisaran ini memberi pajak pada setiap ons emas atau garam yang memasuki perbatasannya. Pada awal abad ke-14, Mali adalah sumber dari hampir setengah emas Dunia Lama yang diekspor dari emas di Bambuk, Boure dan Galam. Tidak terdapat mata uang standar, tetapi beberapa bentuk penting untuk wilayah ini.
Gumpal emas merupakan kepemilikan eksklusif mansa, dan ilegal untuk dijual dalam perbatasannya. Semua emas segera diberikan ke perbendaharaan kekaisaran dengan kembali nilai setara debu emas. Debu emas telah ditimbang dan dikantongi untuk penggunaan sejak kekuasaan kekaisaran Ghana. Mali meminjam praktek untuk membendung inflasi bahan, karena hal ini penting terhadap region. Pengukuran emas yang paling umum adalah ambigu mithqal (4.5 gram emas). Istilah ini digunakan dengan dipertukarkan dengan dinar, walaupun masih belum jelas jika mata uang koin digunakan di kekaisaran ini. Debu emas digunakan di seluruh kekaisaran, tetapi tidak dihargai dengan seimbang di semua wilayah.
Satuan besar pertukaran selanjutnya di kekaisaran Mali adalah garam. Garam dipotong menjadi kepingan dan dihabiskan untuk sumber daya yang dekat dengan keseimbangan kemampuan pembelian di kekaisaran. Sementara garam sebaik emas di utara, garam lebih baik lagi di selatan. Orang dari selatan berdagang garam untuk makanan mereka, tetapi garam sangat langka. Wilayah utara pada sisi lain tidak kekurangan garam. Setiap tahun, pedagang memasuki Mali melalui Oualata dengan unta membawa garam untuk dijual di Niani. Menurut sejarawan, pada periode ini, unta pengangkut garam dapat dihargai sebesar 10 dinar di sebelah utara dan 20 sampai 40 di sebelah selatan.
Tembaga juga merupakan komoditas berharga di kekaisaran Mali. Perunggu, yang diperdagangkan dalam batang, ditambang dari Takedda di utara dan diperdagangkan di selatan untuk emas. Sumber kontemporer mengklaim 60 batang perunggu telah diperdagangkan untuk 100 dinar.
Mali memiliki sejumlah negara-negara pengganti. Bahkan sebelum jatuhnya Mali, para pedagang Malinke (Manding) juga telah banyak melakukan kegiatan pada sebagian besar Afrika Barat.

3.      Songhai
Songhai muncul sebagai sebuah kerajaan setelah kemunduran Kekaisaran Mali. Pada abad 14, Songhai memiliki lebih banyak kekuasaan dan kekayaan daripada kerajaan lain di Afrika Barat. Kaisarnya, Sunni Ali, memperkuat kekaisaran lebih dari penguasa lainnya. Sunni Ali, seorang pejuang besar. Ia menaklukkan banyak kerajaan termasuk Tuareg, keluar dari tanah Songhai. Sunni Ali merebut kota Djenne setelah pengepungan selama tujuh tahun. Ia memulai suatu kesatuan sistem hukum dan ketertiban, pemerintah pusat, dan perdagangan.
Kerajaan Songhai adalah kerajaan terkuat di kawasan Afrika Barat. Songhai, juga disebut Kekaisaran Songhay, adalah negara Afrika pra-kolonial di Mali tengah dan timur. Songhai merupakan salah satu kekaisaran di Afrika terbesar. Kekaisaran ini memiliki yang sama dengan grup etnis utamanya, Songhai. Ibukota Songhai adalah Gao, tempat negara Songhai kecil telah eksis sejak abad ke-11. Basis kekuatannya berada di Sungai Niger. (Simon Adam, 2007:30)

E.       Benin di Afrika Tengah
Kerajaan Afrika Dahomey muncul di Benin. Sejak abad ke-17, kerajaan dikuasai oleh oba, jauh melampaui perbatasan Benin masa ini, meliputi sebagian besar Afrika Barat. Kerajaan makmur ini adalah "pengekspor" budak dan berdagang dengan orang Portugal dan Belanda. Tetapi kekacauan di sini akhirnya mengakibatkan Dahomey dijajah Perancis pada tahun 1892. Pada 1904, Dahomey menjadi sebagian jajahan Perancis, tidak lagi sebagai Dahomey. Pada 1958, Dahomey diberi otonomi, dan kemerdekaan penuh diraih tahun 1960. Benin adalah negara yang terletak di Afrika Barat yang mendapat kemerdekaan dari Perancis tahun 1960.
Pada perkembangan selanjutnya, Benin merupakan Negara republik. Negara Benin memiliki system politik yang terbentuk dalam rancangan republik demokrasi representative Presidensil. Dengan rancangan system politik tersebut, Negara ini menempatkan presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Selain itu Negara ini juga menganut system multipartai yang terdapat di berbagai bentuk pemerintahan. Kekuasaan eksekutif di Negara ini dipegang oleh pemerintah untuk kekuasaan legislative Negara, kekuasaan tersebut di pegang oleh pemerintah dan legislatur. Sistem politik di Negara tersebut saat ini sudah mengalami penurunan, dan konstituti Benin pada 1990  menjadi demokrasi pada 1991.
Kemerdekaan tidak sepenuhnya membuat kondisi dinegara ini menjadi lebih baik. Kondisi Dahomey terus bergolak pascakemerdekaan. Beberapa kali terjadi kudeta dan pergantian rezim, hingga akhirnya kekuasaan di ambil alih oleh Mathieu Kerekou, ia merupakan penganut paham marxisme. Ia mengubah negara kembali menjadi Benin. Pada akhir 1980-an, Kérékou meninggalkan Marxisme dan mengambil keputusan untuk mendirikan kembali demokrasi. Dia dikalahkan dalam pemilu 1991, tetapi ternyata menang lagi tahun 1996.
Benin yang dulunya disebut Dahomey mempunyai wilayah 112.622 km2.Negeri ini merupakan jalur lahan sempit yang panjangnya kira-kira 670 Km, tetapi lebarnya hanya 125 Km pada garis pantainya. Benin terletak diteluk Guinea dan di batasi oleh Nigeria di sebelah timur. Togo di sebelah barat, serta Niger dan Burkina di sebelah utara. Di Benin terdapat sebuah Gedung di Abomey, yang dahulunya adalah ibukota salah satu kerajaan kuno di Benin, dansekarang gedung tersebut yang dulunya merupakan istana agung kerajaan kuno,yang sekarang menjadi sebuah museum. Abomey semula didirikan sebagai ibukota kerajaan kuno Dahomey pada abad ke-17 karenamuseumnya, sekarang kota ini merupakan daya tarikbagi pariwisata utama. Abomey juga merupakan pusat perdagangan dan mempunyai beberapa industry kecil.
            Sejarah ketiga kerajaan kuno di Benin juga tercermin dalam bahan sandang berwarna-warni yang kebanyakan di tenun oleh para pria di halaman museum itu. Bahan sandang itu di hias rias dengan lambing-lambang dan pemandangan yang dicuplik dari kehidupan para raja serta dengan pola dan rancangan yang melukiskan kehidupan di negeri itu saat ini.
            Seperti halnya sebagian besar penduduk Negara Afrika di sebelah selatan Sahara. Penduduk Benin pun berbhineka dalam hal bahasa dan kebudayaan. Dalam hal berbahasa penduduk Benin menggunakan bahasa resmi Benin yaitu bahasa Prancis, bahasa resmi ini sering digunakan di sekolah ataupun di kantor. Untuk bahasa fon dan Yoruba banyak digunakan di benin bagian selatan, sedangkan bariba dan dendi merupakan bahasa terpenting yang di gunakan  oleh mereka yang tinggal di utara. Benin juga merupakan salah satu negara yang mengalami perekonomian buruk di Afrika. PDB Benin yang sebelumnya tumbuh sekitar 4%, turun menjadi 2,5% di tahun 2010. Tetapi setelah mengalami kemerdekaan Ekonomi pertanian sangatlah menonjol di Benin, sehingga hamper seperdua dari pebduduk yang tinggal di negeri ini bertani untuk mnyambung hidup, sepeti orang-orang Fon, Adja, Aizo, Pedah, Mina, Pla, yang tinggal di bagian selatan, melakukan kegiatan pertanian, peternakan da perikanan. Untuk pertanian seperti produk-produk kelapa, baik tunas maupun minyaknya mencakup tiga seperempatnya nilai ekspor Negara itu, sedangkan kapuk, kapas, kopi, kacang tanah, jagung dan tembakau merupakan hasil pertanian lain yang penting. Lebih banyak lahan di manfaatkanuntukpenanaman jagung dari pada untuk tanaman pangan lainnya. Perkebunan kelapa disepanjang pesisir Benin adalah perkebunan rakyat atau Negara. Sebain hasilnya untuk kosumsi dalam negeri dalam bentuk daging atau minyak kelapa, sedangkan yang sebagian lagi di ekspor dalam bentuk kopra (daging kelapa yang dikeringkan).
            Kelompok lainnya yakni orang orang Yoruba, berasal dari Nigeria bermukim diperbatasan tenggara Benin. Penduduk mereka sangatlah terampil dalam bidang pemasaran dan perdagangan, sedangkan kelompok Bariba, Somba, dan Pilapila yang tinggal di daerah tengah dan utara Benin sebagaian besar melakukan pertanian. Ada juga kelompok lain yang hidup di daerah utara Benin yaitu orang Peul (Peuhl),atau yang juga dikenal dengan sebutan orang Fulani. Mereka sebagian besar adalah peternak atau pengembala kambing,biri-biri, dan sapi dari satu tempat ke tempat lain, orang pul in tdak memiliki tempat yang tetap atau sering berpindah-pindah.

            Di Benin sebagian besar Fasilitas pendidikan terletak dipusat perkotaan dibagian selatan Benin, oleh karena itu anak-anak di daerah itu berpeluang besar untuk bersekolah di bandingkan dengan mereka yang hidup di sebelah utara. Berkat adanya desentralisasi dan pembangunan gedung sekolah yang baru di seluruh negeri sehingga di bagian utara sebagian telah berpendidikan.

No comments:

Post a Comment