Afrika ...,
kata tersebut sudah sangat familiar ditelinga kita yang telah belajar sejarah
di sekolah. Afrika merupakan benua terbesar kedua di dunia dan juga menjadi
benua dengan penduduk terbanyak dengan sepertujuh populasi dunia setelah Asia.
Afrika juga sering dikenal sebagai benua hitam karena mayoritas penduduknya
memanglah dari ras negroid yang berkulit hitam akan tetapi bukan berarti kata
Afrika tersebut bermakna hitam. Kata Afrika diketahui berasal dari bahasa latin
yaitu Africa terrayang
berarti tanah afri (bentuk jamak dari “Afer”). Sementara kata Afer ini berasal dari bahasa Fenisia yaitu Afar yang berarti debu, atau juga dari suku
Afridi yang mendiami bagian utara benua dekat Kartago, atau juga dari bahasa
Yunani yaitu Aphrike yang berarti tanpa dingin.
Dari semua
asal kata tersebut Afrika menurut beberapa ahli yang tidak saya sebutkn
namanya, secara sejarahnya diketahui bahwa merupakan tempat tinggal manusia
yang paling awal dan dari benua ini manusia kemudian menyebar ke benua-benua
lainnya. Dari hal itu, maka Afrika merupakan tempat yang dimana terjadinya garis
evolusi kera menjadi berbeda dari protohuman pada tujuh juta tahun yang lalu.
Sehingga Afrika merupakan satu-satunya benua yang ditinggali nenek moyang
manusia hingga sekitar dua juta tahun lampau ketika Homo Erectus berkembang
keluar Afrika menuju Eropa dan Asia yang kemudian dari benua-benua tersebut
mereka mengalami evolusi yang berlainan dan menjadi spesies yang berbeda dan
berakhir menjadi Homo Sapiens. Nah pendapat tersebut diatas sangat
tidak sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri yang bukan berevolusi dari kera
atau manusia kera berjalan tegak. Faham tersebut sengaja disebarkan agar
menjerumuskan pemikiran manusia untuk melupakan Tuhan penciptanya. Sehingga
seolah-olah para ahli yang punya faham manusia adalah hasil evolusi dari kera, berkenyakinan
bahwa semua proses evolusi itu berjalan dengan sendirinya. Yang sebenarnya
adalah manusia itu benar adanya di ciptakan oleh Tuhan dengan manusia pria
pertama adalah Adam AS. dan manusia wanita pertama adalah Hawa. Sedangkan yang
berevolusi tersebut adalah pola pemikiran manusia yang semakin maju untuk menciptakan
teknologi dan peradaban, bukan perubahan bentuk kera ke manusia.
Dengan adanya
hal tersebut tentunya Afrika mempunyai jejak sejarah yang cukup panjang dengan
mulai munculnya beberapa peradaban-peradaban kuno yang mengawali dari kehidupan
manusia yang bahkan juga merupakan salah satu dari peradaban kuno tertua di
dunia. Peradaban-peradaban tersebut yaitu peradaban Kartago yang sekarang
menjadi Tunisia yang terletak di Afrika Utara, Aksum yang sekarang menjadi
Ethiopia, Khus yang sekarang menjadi Sudan, Peradaban kerajaan-kerajaan dagang
di Afrika Barat (Ghana, Mali, Sohai), dan juga Benin yang berada di Afrika
Tengah.
A. Kartago (Tunisia) di Afrika Utara
Kartago yang
dalam bahasa Fenisia yaitu Qart Hadasht atau dalam bahasa Inggris Carthage yang
berarti kota baru merupakan peradaban yang berpusat di kota Kartago yang
terletak di Afrika Utara di Teluk Tunis yang sekarang dikenal sebagai Tunisia.
Peradaban tersebut didirikan pada tahun 814 SM. Semula merupakan jajahan Tirus
dan Kartago meraih kemerdekaannya sekitar tahun 650 SM dan mendirikan hegemoni
dipemukiman Fenisia yang lain. Karena lokasi dari Kartago yang strategis dengan
penduduknya menjadi saudagar kapal sehingga dapat membangun koloni di Spanyol
dan Selatan Italia.
Kartago adalah
kota pelabuhan besar yang terletak di pantai Tunisia modern. Kartago merupakan
negara-kota yang kuat. Di Mediterania Barat, hanya Romawi yang dapat menyaingi
kekuasaan, kekayaan dan populasi Kartago. Sementara angkatan laut Kartago
merupakan yang terbesar di dunia kuno pada saat itu, Kartago tidak memiliki
angkatan bersenjata yang besar dan permanen, namun bergantung pada tentara
bayaran dan menyewanya untuk peperangan. Namun, kebanyakan perwira yang
mengkomandokan tentara adalah penduduk Kartago. Kartago terkenal akan kemampuan
mereka sebagai pelaut, dan tidak seperti angkatan bersenjata mereka yang dari
kelas bawah bekerja di angkatan laut yang menyediakan karir dan pendapatan yang
cukup. Kemampuan mereka yang sangat ulung dalam melaut merupakan warisan dari
bangsa pendiri dari Kartago sendiri yaitu bangsa Funisia. Bangsa Funisia, yaitu orang-orang yang hidup di wilayah Levant, pantai
timur dari Laut Mediterania yangsekarang adalah wilayah Lebanon yang dimana
mereka berasal dari daerah Kanaan. Dengan laut di depan dan
pegunungan di belakang punggung maka mereka tidak tertarik
untuk bercocok tanam tetapi orang Funisia menjadi bangsa yang gemar
berlayar. Lebih dari itu, mereka mereka merupakan bangsa pelaut terbesar
pada zaman kuno dan menjadi kekuatan dagang maritim terbesar pertama
di dunia dan menjadi benar-benar sedemikian kuat selama berabad-abad.
Mereka jugalah orang-orang pertama di Timur Tengah kuno yang senantiasa
menjalin hubungan dengan bangsa Eropa. Dengan cara inilah
pelayaran-pelayaran mereka menjadi sebuah titik balik dalam sejarah
dunia. Sebelum bangsa Funisia, tidak ada orang yang dengan sengaja
mengambil langkah-langkah tertentu untuk memperluas hubungan dagang dengan
mereka yang tinggal ditempat-tempat yang secara harfiah dijuluki sebagai
ujung-ujung dunia.
Dengan
kemampuan yang dimiliki oleh bangsa Funisia itu maka untuk menyediakan tempat peristirahatan
bagi armada kapal pedagang, untukmempertahankan monopoli Fenisia di sumber daya
alam daerah, atau untukmelakukan perdagangannya sendiri, warga Fenisia
mendirikan kota-kota kolonial disepanjang pantai Mediterania. Mereka dirangsang
untuk mendirikan kota-kota mereka oleh kebutuhan untuk revitalisasi
perdagangan untuk membayar upeti kepada Tirus, Sidon, dan Byblos oleh
suksesi kerajaan yang memerintah mereka dan oleh karena rasa takut terhadap
kolonisasi Yunani di bagian Mediterania tersebut yang cocok untuk perdagangan.
Warga Fenisia kekurangan populasi atau keperluan untuk mendirikan kota-kota
mandiri di luar, dan kebanyakan kota memiliki penduduk kurang dari seribu,
tapi Kartago dan beberapa kota lainnya berkembang menjadi kota-kota besar.
Kurang lebih
300 koloni didirikan di Tunisia, Maroko, Aljazair, Iberia, dan dengan tingkat lebih rendah di pantai kering
Libia. Warga Fenisia mengendalikan Siprus, Sardinia, Korsika, dan Kepulauan
Balearik, serta sedikit harta benda di Pulau Kreta dan Sisilia. Pemukiman berikutnya berada
dalam konfilik terus menerus denganYunani. Warga Fenisia berhasil mengendalikan
semua wilayah Sisilia untuk beberapa waktu. Seluruh wilayah kemudian
berada di bawah kepemimpinan dan perlindungan Kartago, yang pada
gilirannya mengutus orang-orangnya untuk membangun kota-kota baru atau untuk memperkuat
pihak yang menolak Tirus dan Sidon. Koloni pertama didirikan pada dua jalur
ke sumber mineral Iberia, sepanjang pantai Afrika Utara dan di Sisilia,
Sardinia dan Kepulauan Balearik. Pusat dunia warga Fenisia adalah Tirus, yang
berfungsi sebagai pusat ekonomi dan politik. Kekuatan kota ini berkurang setelah
banyak pengepungan dan akhirnya dihancurkan oleh Alexander Agung, dan
peran sebagai pemimpin diberikan ke Sidon, dan akhirnya ke Kartago. Setiap
koloni membayar upeti baik kepada Tirus atau Sidon, tapi tak satupun yang
memiliki kendali sebenarnya terhadap koloni-koloni. Hal ini berubah dengan munculnya
Kartago, karena warga Kartago menunjuk pembesarnya sendiri untuk
memerintah kota-kota dan Kartago memperoleh banyak kontrol langsung atas
koloni-koloni. Kebijakan inimengakibatkan sejumlah kota Iberia berpihak pada
Roma selama Perang Punisia.
Sebelum
terjadinya perang Punisia, terdapat beberapa perang akibat dari perluasan
wilayah yang dilakukan oleh bangsa Punisia tersebut yaitu :
Perang Sisilia Pertama
Keberhasilan
ekonomi Kartago, dan ketergantungannya pada proses pengiriman untuk melakukan
sebagian besar perdagangan, menyebabkan terbentuknya angkatan laut Kartago yang
kuat. Hal ini ditambah lagi dengan keberhasilan dan hegemoninya yang berkembang,
membawa Kartago ke peningkatan konflik dengan orang-orang Yunani dari Syracuse,
yang merupakan kekuatan besar lainnya yang bersaing untuk mengendalikan
Mediterania pusat.
Pulau Sisilia, yang terletak di depan
pintu Kartago, menjadi arena di mana konflik ini dimainkan. Dari awalnya, baik
Yunani maupun Fenisia telah tertarik pada pulau besar tersebut, mereka
mendirikan sejumlah besar koloni dan pos perdagangan di sepanjang pantainya,
pertempuran telah terjadi di antara kedua pemukiman ini selama berabad-abad.
Pada tahun 480
SM, Gelo yaitu pemimpin tiran dari Syracuse Yunani dengan didukung oleh
sebagian negara kota Yunani lain, berusaha untuk menyatukan pulau ini di bawah
pemerintahannya. Ancaman ini tidak dapat diabaikan, dan Kartago mungkin sebagai
bagian dari aliansi dengan Persia kemudian terlibat kekuatan militer di bawah
kepemimpinan jendral Hamilcar. Hamilcar memiliki tiga ratus ribu orang yang
meski hampir berlebihan seharusnya merupakan kekuatan tangguh. Namun, pasukan
Hamilcar berkurang dalam perjalanan ke Sisilia karena cuaca buruk dan kemudian
mendarat di Panormus (sekarang Palermo) dengan menghabiskan 3 hari untuk
reorganisasi paukan dan memperbaiki armadanya. Warga Kartago berbaris di
sepanjang pantai ke Himera dan berkemah sebelum terlibat dalam Pertempuran
Himera. Hamilcar entah tewas dalam pertempuran atau bunuh diri karena malu.
Akibatnya bangsawan menegosiasikan perdamaian dan menggantikan monarki lama
dengan republik.
Perang Sisilia Kedua
Pada tahun 410
SM, Kartago telah pulih setelah kekalahan serius. Ia telah menaklukkan sebagian
besar wilayah Tunisia modern, memperkuat dan mendirikan koloni baru di Afrika
Utara. Walaupun pada tahun itu koloni Iberia memisahkan diri yang akhirnya
memotong suplai utama perak dan tembaga Kartagog. Kemudian Hannibal Mago, cucu
dari Hamilcar memulai persiapan untuk merebut kembali Sisilia, sementara
ekspedisi itu juga dipimpin ke Maroko dan Senegal juga ke Atlantik. Pada tahun
409 SM, Hannibal Mago berangkat ke Sisilia dengan kekuatannya. Dia berhasil menguasai
kota-kota kecil Selinus (Selinunte modern) dan Himera sebelum kembali ke
Kartago penuh kemenangan dengan rampasan perang. Akan tetapi musuh utamanya
Syracuse tetap tak tersentuh dan pada tahun 405 SM, Hanibal Mago memimpin
ekspedisi Kartego kedua untuk mengklaim seluruh pulau. Namun kali ini ia
bertemu dengan perlawanan sengit dan ketidakberuntungan. Selama pengepungan
Agrigentum, pasukan Kartago dilanda wabah dan Hannibal Mago sendiri mengalah
untuk itu. Meskipun penggantinya, Himilco berhasil memperpanjang operasi
militer dengan menghancurkan pengepungan Yunani, menguasai kota Gela dan
berulang kali mengalahkan tentara Dionysius yang merupakan tiran baru Syracuse,
dia juga dilemahkan oleh wabah dan dipaksa untuk memohon perdamaian sebelum
kembali ke Kartago.
Pada tahun 398
SM, Dionysius telah memperoleh kembali kekuatannya dan melanggar perjanjian
damai dan menyerang kubu Kartago di Motya. Akhirnya ia mengepung Syracuse itu
sendiri. Pengepungan itu hampir berhasil sepanjang tahun 397 SM, tapi pada 396 SM
lagi-lagi wabah melanda pasukan Kartago dan mereka runtuh. Sisilia setelah itu
telah menjadi obsesi bagi Kartago. Selama 60 tahun berikutnya pasukan Kartago
dan Yunani terlibat dalam serangkaian pertempuran terus menerus. Pada tahun 340
SM, Kartago telah sepenuhnya ditekan hingga ke sudut barat daya pulau itu dan
perdamaian yang tak tenang memerintah atas pulau itu.
Perang Sisilia Ketiga
Pada tahun 311
SM Agathocles, (gubernur administrasi) sang tiran dari Syracuse menyerbu
kepemilikan terakhir Kartago di Sisilia, melanggar persyaratan perjanjian damai
saat itu, dan mengepung Akragas.
Agathocles diam-diam memimpin ekspedisi 14.000 orang ke daratan, berharap untuk
menyelamatkan pemerintahannya dengan memimpin serangan balik ke Kartago itu
sendiri. Meskipun tentara Agathocles akhirnya dikalahkan pada tahun 307 SM,
Agathocles sendiri lolos kembali ke Sisilia dan mampu menegosiasikan perdamaian
yang menjaga Syracuse sebagai benteng kekuasaan Yunani di Sisilia.
Perang Pyrrhic
Antara tahun
280 dan 275 SM, Pyrrhus dari Epirus melancarkan dua operasi militer besar di
Mediterania barat, yaitu satu melawan kekuatan yang muncul dari Republik Romawi
di Italia selatan, dan satunya lagi terhadap Kartago di Sisilia. Pyrrhus
mengirim sebuah pengawalan depan ke Tarentium di bawah komando Cineaus dengan
3.000 infanteri. Pyrrhus membariskan pasukan utama di semenanjung Yunani dan
terlibat dalam pertempuran dengan Tesalia dan tentara Athena. Setelah sukses
awal gerakan tersebut Pyrrhus memasuki Tarentium untuk bergabung kembali
bersama pengawalan depannya. Di tengah operasi militer Italia-nya, Pyrrhus
menerima utusan dari kota-kota Sisilia di Agrigentum, Syracuse, dan Leontini,
meminta bantuan militer untuk menghapus dominasi Kartago atas pulau itu.
Pyrrhus setuju dan membentengi kota-kota Sisilia dengan tentara yang terdiri
dari 20.000 infanteri dan 3.000 kavaleri dan 20 Gajah Perang dan didukung oleh
sekitar 200 kapal. Awalnya, operasi militer Pyrrhus di Sisilia melawan Kartago
sukses dan mendorong kembali pasukan Kartago serta menguasai benteng kota Eryx,
meskipun ia tidak mampu menangkap Lilybaeum.
Menindaklanjuti
kekalahan ini, Kartago memohon perdamaian tapi Pyrrhus menolak kecuali Kartago
bersedia melepaskan sepenuhnya klaim terhadap Sisilia. Pyrrhus mengarahkan
pandangan untuk menaklukkan Kartago itu sendiri dan untuk tujuan ini ia mulai
merencanakan ekspedisi. Namun, perlakuan kejamnya pada kota-kota Sisilia dalam
persiapannya untuk ekspedisi ini menyebabkan munculnya kebencian terhadap orang
Yunani, sehingga Pyrrhus menarik diri dari Sisilia dan kembali untuk menangani
peristiwa yang terjadi di Italia selatan.
Operasi
militer Pyrrhus di Italia tidak meyakinkan, dan Pyrrhus akhirnya mundur ke
Epirus. Bagi Kartago, ini berarti kembali ke status quo. Namun bagi Roma,
kegagalan Pyrrhus untuk mempertahankan koloni di Magna Graecia berarti bahwa
Roma menyerap mereka ke dalam lingkaran pengaruhnya, membawa lebih dekat ke
dominasi utuh semenanjung Italia. Dominasi Roma akan Italia dan bukti bahwa Roma
dapat mengadu kekuatan militernya dengan sukses melawan kekuatan internasional,
akan membuka jalan ke konflik Roma dan Kartago di kemudian hari dalam Perang
Punisia. Kemudian pada tahun 288 SM, sebuah kompi besar tentara bayaran Italia
yang Menamakan diri Mamertines (anak-anak Mars) Mamertines menjadi ancaman bagi
Kartago dan juga Syracuse. Pada tahun 265 SM, Hiero II, mantan jendral Pyrrhus
dan tiran baru Syracuse, mengambil tindakan terhadap mereka. Dihadapkan pada
kekuatan yang jauh lebih unggul, Mamertines terbagi menjadi dua faksi, satu
meminta penyerahan kepada Kartago, yang lain lebih memilih untuk mencari
bantuan dari Roma. Dengan adanya hal tersebut kemudian membuat keduanya
berselisih dan serangan Romawi pada pasukan Kartago di Messana memicu Perang
Punisia pertama.
Perang Punisia Pertama
Pada Perang
Punisia Pertama (264 SM – 241 SM) pertempuran bukan hanya terjadi di daratan
(Sisilia dan Afrika), namun juga di laut Mediterania. Beberapa perang laut yang
besar juga terjadi. Perang ini berlangsung dengan sengit hingga akhirnya
Kekaisaran Romawi menang dan menaklukan Sisilia setelah mengalahkan Kartago
dalam Pertempuran Kepulauan Aegates yang mengakhiri perang ini. Akibat
kekalahannya, Kartago mengalami guncangan politik maupun militer, sehingga
Kekaisaran Romawi akhirnya dengan mudah merebut Sardinia dan Korsika ketika
Kartago terjerumus kedalam perang tentara bayaran.
Perang Punisia Kedua
Pada Perang
Punisia Kedua (218 SM – 202 SM), pasukan Kartago yang dipimpin oleh Hannibal
menyeberangi Laut Mediterania, menyusuri Semenanjung Iberia kemudian Galia lalu
ke daerah Alpen untuk menyerang Roma dari utara dan berhasil memenangkan
sejumlah pertempuran penting di daratan Italia, seperti Pertempuran Trebia,
Pertempuran Danau Trasimene dan Pertempuran Cannae. Namun ternyata kemenangan
ini tidak cukup berarti untuk menjatuhkan Republik Romawi secara keseluruhan.
Membalas kekalahannya, Kekaisaran Romawi balik menyerang Hispania, Sisila dan
Yunani. Di saat yang sama, pertempuran juga terjadi di Afrika. Di sanalah,
Kekaisaran Kartago berhasil dikalahkan dalam sebuah pertempuran di Zama. Hal
ini mengakibatkan berkurangnya wilayah kekuasaan Kartago sehingga hanya
menyisakan kota Kartago saja.
Perang Punisia Ketiga
Pada Perang
Punisia Ketiga diwarnai dengan penyerangan Kekaisaran Roma langsung ke jantung
Kekaisaran Kartago, Kota Kartago, pada tahun 149 SM-146 SM. Pada selang waktu
antara akhir Perang Punisia Kedua dengan awal Punisia Ketiga, Republik Romawi
berusaha memperluas wilayah menuju daerah peradaban Helenistik, yaitu dengan
Kerajaan Seleukus, Makedonia, serta wilayah Illyria. Republik Romawi menang dan
berhasil menghancurkan Kota Kartago, sekaligus menandai runtuhnya Kekaisaran
Kartago. Kehancuran Kekaisaran Kartago tersebut terjadi pada abad ke-2 SM dan
mengakibatkan terjadinya saling berganti kekuasaan Asing hingga menjadi negara
Tunisia seperti sekarang ini. pada suatu masa Kartago pernah menjadi propinsi
imperium Roma, kemudian beralih tangan menjadi bagian dari imperium Turki
(Soeratman, 2012:110).
B. Aksum (Ethiopia)
Aksum pusat
dari negara Ethiopia mulai bangkit sekitar tahun 100 SM, menjadi kekuatan
dagang utama pada akhir abad ke-1 M. Kerajaan ini menjadi kaya dengan menguasai
pelabuhan dagang dupa Adulit di Laut Merah. Aksum menyediakan tempurung
kura-kura, gading gajah, dan cula badak bagi Mesir, India, Persia dan Arab.
Kejayaannya mencapai puncak dibawah Raja Ezana yang menjadi Kristen pada ±350
M. Pada 500 M, sebagian besar warganya telah menganut agama baru itu. pada 525
M, Kaleb yang merupakan salah satu penerus Ezana menaklukkan bagian barat
Semenanjung Arab dan Aksum menguasai wilayah ini hingga 574 M. Dengan
penyebaran Islam pada abad ke-7, monopoli Aksum di Laut Merah diambil alih
pedagang Muslim (Black, 2009:161).
Kekaisaran
Aksum atau Axum, juga dikenal sebagai Kekaisaran Aksumite, merupakan sebuah
negara perdagangan diwilayah yang sekarang Eritrea dan utara Ethiopia, yang
telah ada dari sekitar tahun 100–940 M. Negara tersebut tumbuh dari periode
zaman besi proto-Aksumite pada abad ke-4 SM sampai mencapai zaman keemasannya
diabad ke-1 M, dan merupakan pemain utama di dalam perdagangan antara
Kekaisaran Romawi dan India Kuno. Para pemimpin Aksumite mempermudah
perdagangan tersebut dengan mencetak mata uang mereka sendiri, negara itu
mendirikan hegemoni atas penurunan Kerajaan Kush dan secara teratur memasuki
politik kekaisaran pada Jazirah Arab, dan akhirnya memperluas kekuasaannya atas
wilayah tersebut dengan penaklukan Kerajaan Himyarite.
Rakyat
Aksumite membangun sejumlah prasasti yang digunakan untuk kepentingan agama
dimasa pre-Kristen. Salah satu struktur kolom granit itu adalah yang terbesar
didunia yang tingginya 90 kaki. Di bawah Ezana (fl. 320–360), Aksum menjadi
Kristen. Pada abad ke-7, Muslim dari Mekah menghindar dari penganiayaan Quraysh
dengan melakukan perjalanan ke Aksum tersebut, yang dikenal dalam Sejarah Islam
dengan istilah Hijrah pertama. Ibukota lamanya yang juga disebut Aksum,
terletak diutara Ethiopia. Kekaisaran ini menggunakan nama "Ethiopia"
paling awal diabad ke-4. Diduga juga merupakan tempat peristirahatan dari Tabut
Perjanjian dan diklaim sebagai rumah Makeda.
Kekaisaran
Aksum berada pada puncak kejayaannya pada waktu diperânjang disebagian besar
yang kini Eritrea, Ethiopia utara, Yemen barat, Arab Saudi selatan dan Sudan.
Ibukota dari kekaisaran tersebut adalah Aksum, yang sekarang bagian utara
Ethiopia. Hari ini sebuah komunitas kecil, kota Aksum pernah menjadi metropolis
yang ramai, pusat budaya dan ekonomi. Dua bukit dan dua aliran berbaring dihamparan
timur dan barat kota; mungkin memberikan dorongan awal untuk menyelesaikan
daerah ini. Sepanjang perbukitan dan dataran luar kota, Aksumite memiliki
makam-makam dengan batu pusara yang rumit yang disebut dengan Prasasti, atau
Obelisk. Kota-kota penting lainnya termasuk Yeha, Hawulti-Melazo, Matara,
Adulis, dan Qohaito, tiga kota terakhir yang sekarang adalah Eritrea.
Pada abad
ke-3, Aksum mulai mencampuri urusan-urusan Arab Selatan, mengendalikan wilayah
Tihama barat di antara wilayah lainnya. Hal ini mendominasikan negara-negara di
Semenanjung Arab yang mneyeberangi Laut Merah, membuat mereka membayar Aksum
sebuah upeti. Pada masa pemerintahan Endubis diakhir abad ke-3 mulai mencetak
mata uang sendiri dan dinamakan oleh Mani sebagai salah satu dari empat
kekuatan besar bersamaan dengan Persia, Roma, dan Cina. Pada masa itu, Aksum
mengendalikan Ethiopia utara, Eritrea, Sudan utara, Mesir selatan, Djibouti,
Yemen barat, dan Arab Saudi selatan, sejumlah 1.25 juta kilometer persegi.
Pada sekitar
tahun 520, Kaleb mengirimkan sebuah ekspedisi ke Yemen untuk melawan Yahudi
raja Himyarite Dhu Nuwas. Dhu Nuwas digulingkan dan dibunuh dan Kaleb menunjuk
seorang Kristen Himyarite, Sumuafa Ashawa, sebagai raja mudanya. Namun
disekitar tahun 525 raja muda ini digulingkan oleh seorang Jenderal Aksumite
Abreha dengan dukungan rakyat Ethiopia yang menetap di Yemen, dan memotong
upeti untuk Kaleb. Ketika Kaleb mengirim ekspedisi lain terhadap Abreha pasukan
ini membelot dan membunuh komandan mereka serta bergabung dengan Abreha.
Ekspedisi lain untuk melawan mereka dikirim dan meninggalkan Yemen dibawah
kendali Abreha, dimana ia terus mempromosikan keyakinan Kristen sampai
kematiannya tak lama setelah Yemen ditaklukkan oleh bangsa Persia. Menurut
Munro-Hay perang-perang tersebut merupakan lagu Aksum sebagai kekuatan yang
hebat yang memperlemah otoritas Aksumite dan pengeluaran uang dan tenaga kerja
yang berlebihan. Menurut tradisi Ethiopia, Kaleb akhirnya turun takhta dan pensiun
kesebuah biara. Mungkin juga bahwa Ethiopia dijangkiti oleh Wabah Yustinianus
pada saat itu.
Aksum tetap
kuat meskipun melemah, kekaisaran dan kekuasaan perdagangan sampai menyebarnya
Islam diabad ke-7. Namun tidak seperti hubungan antara kekuatan Islam dan
Kristen Eropa, Aksum (lihat Sahama), yang memberikan perlindungan bagi para
pengikut Muhammad pada tahun 615 memiliki hubungan baik dengan negara tetangga
Islamnya. Namun, setidaknya pada tahun 640, Umar ibn al-Khattāb mengirimkan
sebuah ekspedisi angkatan laut melawan Adulis dibawah pimpinan Alkama bin
Mujazziz, namun dapat dikalahkan. Kekuatan angkatan laut Aksumite juga menurun
sepanjang masa, meskipun pada tahun 702 bajak laut Aksumite mampu menyerang
Hijaz dan menduduki Jeddah. Namun sebagai balasannya, Sulayman ibn Abd al-Malik
dapat mengambil Kepulauan Dahlak dari Aksum yang menjadi Muslim sejak saat itu
meskipun dapat direbut kembali diabad ke-9 dan menjadi pengikut Kaisar Ethiopia.
Akhirnya
Kekaisaran Islam menguasai Laut Merah dan sebagian besar Nil, memaksa Aksum
kedalam isolasi ekonomi. Baratlaut Aksum yang sekarang Sudan, negara-negara
Kristen Makuria dan Alodia berlangsung sampai abad ke-13 sebelum menjadi Islam.
Aksum yang terisolasi masih tetap Kristen. Setelah jaman keemasan kedua diawal
abad ke-6, kekaisaran mulai menurun dan akhirnya berhenti memproduksi koin
diawal abad ke-7. Pada sekitar waktu yang sama, populasi Aksumite dipaksa untuk
pergi lebih jauh kepedalaman dataran tinggi untuk perlindungan dan meninggalkan
Aksum sebagai ibukota. Penulis-penulis Arab dimasa itu terus menggambarkan
Ethiopia (tidak lagi disebut sebagai Aksum) sebagai negara yang luas dan kuat,
meskipun mereka telah kehilangan kendali atas sebagian besar pantai dan sungai
mereka. Sewaktu kehilangan lahan diutara, diselatan dimenangkan, dan meskipun
Ethiopia tidak lagi menjadi kekuatan ekonomi masih menarik para pedagang Arab.
Ibukota dipindahkan kelokasi baru, saat ini tidak diketahui, meskipun mungkin
telah disebut Ku'bar atau Jarmi.
Sejarah
setempat menyatakan bahwa sekitar tahun 960 seorang Ratu Yahudi yang bernama
Yodit (Judith) atau "Gudit" mengalahkan kekaisaran tersebut dan
membakar gereja-gereja beserta literaturnya, namun sementara ada bukti dari
gereja-gereja yang dibakar dan invasi pada saat itu, keberadaannya telah
dipertanyakan oleh beberapa penulis modern. Kemungkinan lain adalah bahwa
kekuatan Aksumite diakhiri oleh seorang Ratu pagan selatan yang bernama Bani
al-Hamwiyah, kemungkinan suku al-Damutah atau Damoti (Sidama). Hal ini jelas
dari sumber-sumber kontemporer bahwa perampas perempuan memang memerintah
negara pada saat itu dan bahwa pemerintahannya berakhir beberapa waktu sebelum
tahun 1003. Setelah zaman kegelapan, Kekaisaran Aksumite digantikan oleh Agaw
Wangsa Zagwe diabad ke-11 atau 12 (kemungkinan besar tahun 1137), meskipun
terbatas dalam ukuran dan ruang lingkup. Namun Yekuno Amlak, yang membunuh raja
Zagwe yang terakhir dan mendirikan Dinasti Salomo pada sekitar tahun 1270
menelusuri nenek moyangnya dan haknya untuk memerintah dari kaisar terakhir
Aksum, Dil Na'od. Perlu disebutkan bahwa akhir dari Kekaisaran Aksumite tidak
berarti akhir dari budaya dan tradisi Aksumite; misalnya arsitektur wangsa
Zagwe di Lalibela dan Gereja Yemrehana Krestos menunjukkan pengaruh besar
Askumite.
Alasan lain
untuk penurunan lebih ilmiah secara alami. Perubahan iklim dan isolasi
perdagangan kemungkinan juga merupakan alasan besar atas penurunan budaya.
Penanaman berlebihan juga mengakibatkan penurunan hasil panen yang dapat menurunkan
pasokan makanan.
Kekaisaran
Aksum terkenal akan sejumlah prestasi seperti alfabetnya sendiri, alfabet Ge'ez
yang akhirnya dimodifikasikan untuk menyertakan vokal, menjadi abugida. Selain
itu, pada masa awal kekaisaran, sekitar 1700 tahun yang lalu, tugu-tugu raksasa
dibangun untuk menandai makam-makam kaisar (dan bangsawan) (ruangan makam bawah
tanah), yang paling terkenal adalah Tugu Aksum.
Dibawah
pimpinan Kaisar Ezana, Aksum mengadopsi Kristen untuk menggantikan agama-agama
Politeisme dan Agama Yahudi pada sekitar tahun 325. Hal tersebut melahirkan
dihari ini yang disebut Gereja Ortodoks Ethiopia Tewahedo (hanya diberikan
otonomi dari Gereja Coptic pada tahun 1953), dan Gereja Ortodoks Eritrea
Tewahdo (diberikan otonomi dari Gereja Ortodoks Ethiopia pada tahun 1993).
Karena perpecahan dengan ortodoksi diikuti dengan Konsili Khalsedon (451),
gereja tersebut menjadi sebuah gereja Miafisitisme yang penting, injil dan
liturgi terus berada di Ge'ez.
Sebelum
konversi ke Kristen, rakyat Aksumite melakukan Politeisme agama yang
berhubungan dengan agama yang dipraktekkan di Arabia selatan. Ini termasuk
penggunaan simbol bulan sabit dan disk yang digunakan di Arab selatan dan
utara. Di UNESCO yang mensponsori Sejarah Umum Afrika Arkelolog Perancis
Francis Anfray menunjukkan bahwa pagan Aksumite menyembah Astar, putranya,
Mahrem, dan Beher.
Steve Kaplan
berpendapat bahwa dengan budaya Aksumite datang perubahan besar di dalam agama,
dengan hanya Astar yang tersisa sebagai dewa-dewa kuno, yang lainnya digantikan
dengan apa yang disebut "tiga serangkaian dewa pribumi, Mahrem, Beher dan
Medr." Ia juga menunjukkan bahwa budaya Aksum secara signifikan
dipengaruhi oleh Yudaisme, dan mengatakan bahwa “Operator pertama Yudaisme
mencapai Ethiopia di antara munculnya kerajaan Aksumite pada awal Masehi dan
konversi ke Kristen Kaisar Ezana pada abad keempat.” Ia percaya bahwa meskipun
tradisi Ethiopia menunjukkan bahwa ini hadir di dalam jumlah besar, bahwa
“Sebuah jumlah teks dan individu yang relatif kecil yang tinggal di pusat
budaya, ekonomi, dan politik bisa memiliki dampak yang cukup besar.” dan bahwa
“pengaruh mereka menyebar keseluruh budaya Ethiopia di masa pembentukannya Pada
saat Kristen memegang peranan pada abad keempat, banyak dari awalnya
elemen-elemen Hebraic-Yahudi telah diadopsi oleh banyak penduduk pribumi dan
tidak lagi dipandang sebagai karakteristik asing. Mereka juga telah dianggap
bertentangan dengan penerimaan Kristen.”
Sebelum
konversi ke Kristen koin-koin Kaisar Ezana II dan prasasti-prasasti menunjukkan
bahwa ia kemungkinan memuja dewa-dewa Astar, Beher, Meder/Medr, dan Mahrem.
Prasasti-prasasti Ezana lainnya jelas-jelas Kristen dan menegaskan “Bapa,
Putra, dan Roh Kudus.” Pada sekitar tahun 324 Kaisar Ezana II dikonversikan ke
Kristen oleh gurunya Frumentius, pendiri Gereja Ortodoks Ethiopia. Frumentius
mengajar kaisar ketika ia masih muda, dan diyakini bahwa pada beberapa titik
dipentaskan konversi kekaisaran. Diketahui bahwa Aksumites menjadi Kristen
karena di dalam koin mereka diganti disk dan bulan sabit dengan salib.
Frumentius berhubungan dengan Gereja Aleksandria, dan ditunjuk sebagai Uskup
Ethiopia pada sekitar tahun 330. Gereja Aleksandria tidak pernah berhasil
berurusan erat dengan gereja-gereja di Aksum, yang memungkinkan mereka untuk
mengembangkan bentuk unik Kekristenan mereka sendiri. Namun Gereja Aleksandria
mungkin tidak mempertahankan pengaruh mengingat bahwa gereja-gereja Aksum
mengikuti Gereja Aleksandria kedalam Gereja Ortodoks Oriental dengan menolak
Ekumenis Keempat Konsili Khalsedon. Aksum juga diduga rumah dari peninggalan
suci Tabut Perjanjian. Tabut tersebut dilaporkan telah ditempatkan di dalam
Gereja Perawan Maria di Zion oleh Menelik I untuk disimpan.
Meliputi
bagian dari apa yang sekarang Ethiopia utara dan Eritrea, Aksum sangat terlibat
di dalam jaringan perdagangan antara India dan Laut Tengah (Roma, kemudian
Kekaisaran Romawi Timur), mengekspor gading, tempurung kura-kura, emas dan
zamrud, dan mengimpor sutra dan rempah-rempah. Akses Aksum untuk kedua Laut
Merah dan Nile bagian atas mengaktifkan angkatan laut yang kuat untuk
mendapatkan keuntungan di dalam perdagangan antara berbagai negara Afrika
(Nubia), (Yemen Arab), dan India.
Ekspor utama
dari Aksum adalah, seperti yang diharapkan dari sebuah negara selama ini, yaitu
produk-produk pertanian. Tanah itu jauh lebih subur selama masa Aksumite dari
sekarang, dan tanaman pokok mereka adalah biji-bijian seperti gandum dan
barley. Rakyat Aksum juga menternakkan sapi, domba dan unta. Hewan-hewan liar
juga diburu seperti untuk gading dan tanduk badak. Mereka berdagang dengan
pedagang Romawi, Mesir dan Persia. Kekaisaran ini juga kaya akan emas dan besi.
Logam-logam tersebut sangat berharga bagi perdagangan namun mineral lain
seperti garam juga cukup sering diperdagangkan.
C. Khus (Sudan)
Negara di
Afrika Tengah bagian timur ini, tak bisa dikesampingkan dari peta dunia Islam.
Pertama, karena Sudan merupakan negara terluas di benua Afrika. Kedua, Sudan
memiliki tokoh muslim terkemuka yang menggagas penerapan syariat Islam di sana,
Dr. Hassan Turabi. Sayangnya, sejak merdeka dari Inggris pada 1 Januari 1956,
negara besar ini tak pernah lepas dari konflik internal perebutan kekuasaan.
Penduduk Sudan
yang paling dulu dikenal adalah orang Afrika kuno yang hidup disana dizaman
batu. Di akhir masa seribu tahun ke-4 sebelum masehi, raja dari dinasti Mesir
pertama menaklukan Nubia dan sesudah itu pengaruh kebudayaan Mesir tersebar ke
hulu dan berkulminasi di masa berdirinya kerajaan Kush di Nubia.
Pertikaian dan
perebutan kekuasaan, sudah mewarnai Sudan sejak ribuan tahun silam. Yaitu saat
Raja Aksum dari Ethiopia, menghancurkan ibu kota Kerajaan Kush, Meroe. Kota tua
itu dibangun raja-raja dari dinasti Mesir yang pertama datang ke Sudan Utara,
sekitar tahun 4000 SM. Selanjutnya berdirilah dua kerajaan baru yaitu Maqurra
dan Alwa. Pada tahun 1500-an, Maqurra jatuh ke tangan orang-orang Arab
bersamaan dengan masuknya Islam ke Sudan. Setelah melakukan perkawinan campuran
dengan suku Funj, orang Arab muslim menghancurkan Alwa. Selanjutnya dinasti
Funj berkuasa hingga 1821.
Selanjutnya
Sudan dikuasai Turki yang saat itu berada di bawah kekuasaan Mesir yang
dibacking oleh Inggris. Gubernur Jenderal Muhammad Ali, memerintah secara
keras. Rakyat setempat baru dilibatkan dalam pengambilan keputusan saat
Muhammad Ali digantikan Ali Khursid Agha.
Hingga 1881,
tak ada pemimpin yang mengorganisasi upaya perjuangan kemerdekaan Sudan, sampai
akhirnya muncul figur Muhammad Ahmad. Pasukannya berhasil menguasai Khartoum
pada 26 januari 1885. Namun perjuangan itu dipatahkan oleh pasukan
Mesir-Inggris. Kemerdekaan Sudan diperoleh tiga tahun setelah pada Februari
1953, Mesir dan Inggris menyepakati pemberian hak untuk mengatur pemerintahan
sendiri.
Pemerintahan
di wilayah seluas 2,5 juta km2 dengan penduduk 29 juta itu sendiri tak pernah
benar-benar stabil. Perang saudara di Sudan merupakan konflik terpanjang dalam
sejarah Afrika. Pada 1972, pernah dicapai kesepakatan damai, tapi itu tak
bertahan lama. Konflik menajam antara pemerintah pusat di Sudan Utara yang
mayoritas muslim dengan kelompok-kelompok etnis di selatan yang dimotori
Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA).
Islam memang
menjadi agama yang dianut mayoritas (73 persen) penduduk Sudan. Sementara di
selatan, masih banyak yang menganut kepercayaan tradisional (16,7 persen).
Sudan berbatasan dengan Mesir dan Libya di utara, Zaire di selatan, Chad dan
Ethiopia masing-masing di barat dan timur. Pada Juni 1989, Jendral Omar Hassan
Ahmad Al Bashir didukung oleh Dr. Hassan Turabi melakukan kudeta tak berdarah
atas pemerintahan presiden Jakfar Numeri. Dwi-tunggal Bashir dan Turabi
memimpin Sudan masing-masing sebagai presiden dan ketua parlemen. Besarnya
pengaruh Turabi sebagai ketua Partai Kongres Nasional, menimbulkan kecurigaan
pada Bashir.
Pada Desember
1999, Bashir lantas membubarkan parlemen. Tak hanya itu, Turabi juga dipecat
dari jabatan ketua partai berkuasa. Turabi membalasnya dengan mendirikan partai
baru. Demi mengamankan kekuasannya, Bashir melakukan konsolidasi dan meminta
dukungan negara tetangga seperti Mesir, Libya dan negara Barat serta Amerika
Serikat.
Negara-negara
Barat, seperti juga Bashir, memang menilai Turabi sebagai tokoh berbahaya
dengan gagasannya menegakkan syariat Islam. Tak heran ketika Turabi masih
berpengaruh, Sudan diisolasi dari pergaulan dunia dengan berbagai tudingan
miring seperti pelanggaran HAM dan terorisme.
Pertikaian
internal di Sudan yang tak kunjung henti, membuat perekonomian negara ini tak
berdaya. Apalagi tanah di Sudan utara sangat kering, kecuali sebagian wilayah
di sekitar Sungai Nil. Sementara lahan pertanian di Sudan selatan, tak
produktif karena jauh dari jalan, pasar dan tak tersentuh sarana transportasi.
Padahal Sudan
memiliki potensi tambang berupa emas, bijih besi dan tembaga. Sedangkan potensi
pertaniannya adalah kapas, gandum, kacang tanah dan hewan ternak. Lonjakan
pertumbuhan ekonomi yang cukup berarti terjadi pada 1979, saat ditemukan
deposit minyak bumi di Sudan selatan yang kemudian dieksplorasi.
Kesenjangan
Sudan utara dengan selatan nyata sekali. Secara etnis, keduanya juga memiliki
perbedaan. Sudan utara ditinggali oleh mayoritas keturunan Arab yang meliputi
tiga perempat penduduk Sudan. Maka bahasa Arab menjadi bahasa pengantar utama
di Sudan. Sementara di selatan orang Negro yang dominan dengan beragam suku.
D. Kerajaan-Kerajaan Dagang di Afrika
Barat
1. Ghana
Republik Ghana
adalah sebuah negara di Afrika Barat yang berbatasan dengan Pantai Gading di
sebelah barat, Burkina Faso di utara, Togo di timur, dan Teluk Nugini di
selatan. Dahulu bernama Pesisir Emas, nama "Ghana" berasal dari
Kekaisaran Ghana. Sebelum zaman penjajahan, Ghana diduduki oleh beberapa
kekaisaran kuno, termasuk kekaisaran pedalaman di Ashanti dan berbagai negara Fante
di sepanjang pantai.
Dahulu Ghana
adalah Kerajaan besar pertama yang muncul di dataran Afrika Barat. Tidak ada
yang tahu persis kapan kekaisaran ini muncul. Bukti menunjukkan bahwa
orang-orang Afrika yang disebut Soninke memulai kekaisaran Ghana pertama sejak
tahun 200-an masehi.
Republik Ghana
dinamakan menurut Kekaisaran Ghana zaman pertengahan di Afrika Barat. Nama asli
kekaisaran ini adalah Ouagadouogu. Ghana merupakan gelar raja yang memerintah
kerajaan terkait dan juga diartikan “kepala perang”. Ghana digolongkan sebagai
salah satu kerajaan-kerajaan dagang di kawasan Afrika Barat. Hal itu
dikarenakan kondisi wilayah Ghana yang tumbuh subur, kekayaan alam yang
melimpah. Ghana dikenal di seantero dunia sebagai Pesisir Emas. Negeri tersebut
diperintah Sundiata, dan telah digabungkan ke Kekaisaran Mali yang lebih besar.
(Kekaisaran Mali mencapai puncak kejayaannya di bawah Mansa Musa sekitar abad
13.)
Bangsa Soninke
mendirikan sebuah ibu kota, Kumbi Saleh, di tempat yang sekarang terletak di
barat daya Mauritania. Pertanian yang produktif, pasokan emas yang melimpah,
serta kontrol pada rute perdagangan Gurun Sahara membuat masyarakat Kumbi Saleh
hidup makmur serta kuat. Rute perdagangan Sahara menghubungkan Afrika
tengah-barat dengan Laut Mediterania. Pajak atas barang yang keluar masuk
kerajaan membuat para penguasa menjadi sangat kaya raya. Ghana mulai tumbuh dan
mencapai puncak kejayaannya pada tahun 900 masehi dengan mengalahkan kerajaan
tetangga dan menaklukkan kota dagang utama di Sahara, Awdaghust. Ghana yang
saat itu dipimpin oleh Kekaisaran Ashanti yang mengambil alih rute perdagangan
dengan negara-negara Eropa berkembang dengan pesat. Pihak Perancis yang
tertarik dengan perhiasan menamakan kawasan barat di Ghana sebagai Pantai
Gading.
2. Mali
Mali dikenal
juga sebagai Kekaisaran Manding adalah suatu peradaban Afrika Barat yang
berasal dari bangsa Mandika pada abad pertengahan sekitar abad ke 1235 sampai
abad 1610. Kekaisaran ini didirikan oleh Sundiata Keita. Mali juga terkenal
akan kekayaan raja-raja penguasanya, terutama Raja Mansa Musa I. Kekaisaran ini
memiliki pengaruh yang besar terhadap kebudayaan Afrika Barat, karena
menyebarluaskan pemakaian bahasa, hukum, dan adat istiadat yang diterapkan di
daerah tersebut kepada daerah lainnya di sepanjang sungai Niger. Pada puncak
kejayaannya, pejabat dan penguasa di Mali dianugrahkan dengan gelar kehormatan
yang saat itu dikenal sebagai "penguasa yang paling mulia dan terkaya di
antara penguasa lainnya". Kekuasaan kekaisaran Mali meliputi wilayah yang
lebih luas dari Eropa Barat.
Kekaisaran
Mali tumbuh subur karena perdagangan diatas segalanya. Kekaisaran ini memiliki
tiga tambang emas besar di perbatasannya, tidak seperti kekaisaran Ghana, yang
hanya merupakan tempat transit emas. Kekaisaran ini memberi pajak pada setiap
ons emas atau garam yang memasuki perbatasannya. Pada awal abad ke-14, Mali
adalah sumber dari hampir setengah emas Dunia Lama yang diekspor dari emas di
Bambuk, Boure dan Galam. Tidak terdapat mata uang standar, tetapi beberapa
bentuk penting untuk wilayah ini.
Gumpal emas
merupakan kepemilikan eksklusif mansa, dan ilegal untuk dijual dalam
perbatasannya. Semua emas segera diberikan ke perbendaharaan kekaisaran dengan
kembali nilai setara debu emas. Debu emas telah ditimbang dan dikantongi untuk
penggunaan sejak kekuasaan kekaisaran Ghana. Mali meminjam praktek untuk
membendung inflasi bahan, karena hal ini penting terhadap region. Pengukuran
emas yang paling umum adalah ambigu mithqal (4.5 gram emas). Istilah ini
digunakan dengan dipertukarkan dengan dinar, walaupun masih belum jelas jika
mata uang koin digunakan di kekaisaran ini. Debu emas digunakan di seluruh
kekaisaran, tetapi tidak dihargai dengan seimbang di semua wilayah.
Satuan besar
pertukaran selanjutnya di kekaisaran Mali adalah garam. Garam dipotong menjadi
kepingan dan dihabiskan untuk sumber daya yang dekat dengan keseimbangan
kemampuan pembelian di kekaisaran. Sementara garam sebaik emas di utara, garam
lebih baik lagi di selatan. Orang dari selatan berdagang garam untuk makanan
mereka, tetapi garam sangat langka. Wilayah utara pada sisi lain tidak
kekurangan garam. Setiap tahun, pedagang memasuki Mali melalui Oualata dengan
unta membawa garam untuk dijual di Niani. Menurut sejarawan, pada periode ini,
unta pengangkut garam dapat dihargai sebesar 10 dinar di sebelah utara dan 20
sampai 40 di sebelah selatan.
Tembaga juga
merupakan komoditas berharga di kekaisaran Mali. Perunggu, yang diperdagangkan
dalam batang, ditambang dari Takedda di utara dan diperdagangkan di selatan
untuk emas. Sumber kontemporer mengklaim 60 batang perunggu telah
diperdagangkan untuk 100 dinar.
Mali memiliki
sejumlah negara-negara pengganti. Bahkan sebelum jatuhnya Mali, para pedagang
Malinke (Manding) juga telah banyak melakukan kegiatan pada sebagian besar
Afrika Barat.
3. Songhai
Songhai muncul
sebagai sebuah kerajaan setelah kemunduran Kekaisaran
Mali. Pada abad 14, Songhai memiliki lebih banyak kekuasaan dan kekayaan
daripada kerajaan lain di Afrika Barat. Kaisarnya, Sunni Ali, memperkuat
kekaisaran lebih dari penguasa lainnya. Sunni Ali, seorang pejuang besar. Ia
menaklukkan banyak kerajaan termasuk Tuareg, keluar dari tanah Songhai. Sunni
Ali merebut kota Djenne setelah pengepungan selama tujuh tahun. Ia memulai
suatu kesatuan sistem hukum dan ketertiban, pemerintah pusat, dan perdagangan.
Kerajaan
Songhai adalah kerajaan terkuat di kawasan Afrika Barat. Songhai, juga disebut
Kekaisaran Songhay, adalah negara Afrika pra-kolonial di Mali tengah dan timur.
Songhai merupakan salah satu kekaisaran di Afrika terbesar. Kekaisaran ini
memiliki yang sama dengan grup etnis utamanya, Songhai. Ibukota Songhai adalah
Gao, tempat negara Songhai kecil telah eksis sejak abad ke-11. Basis
kekuatannya berada di Sungai Niger. (Simon Adam, 2007:30)
E. Benin di Afrika Tengah
Kerajaan
Afrika Dahomey muncul di Benin.
Sejak abad ke-17, kerajaan dikuasai oleh oba,
jauh melampaui perbatasan Benin masa ini, meliputi sebagian besar Afrika Barat.
Kerajaan makmur ini adalah "pengekspor" budak dan berdagang dengan orang Portugal dan Belanda. Tetapi kekacauan di
sini akhirnya mengakibatkan Dahomey dijajah Perancis pada tahun 1892. Pada 1904, Dahomey
menjadi sebagian jajahan Perancis, tidak lagi sebagai Dahomey. Pada 1958,
Dahomey diberi otonomi, dan kemerdekaan penuh diraih tahun 1960. Benin adalah
negara yang terletak di Afrika Barat yang mendapat kemerdekaan dari Perancis
tahun 1960.
Pada
perkembangan selanjutnya, Benin merupakan Negara republik. Negara Benin
memiliki system politik yang terbentuk dalam rancangan republik demokrasi
representative Presidensil. Dengan rancangan system politik tersebut, Negara
ini menempatkan presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Selain
itu Negara ini juga menganut system multipartai yang terdapat di berbagai
bentuk pemerintahan. Kekuasaan eksekutif di Negara ini dipegang oleh pemerintah
untuk kekuasaan legislative Negara, kekuasaan tersebut di pegang oleh
pemerintah dan legislatur. Sistem politik di Negara tersebut saat ini sudah
mengalami penurunan, dan konstituti Benin pada 1990 menjadi demokrasi pada
1991.
Kemerdekaan
tidak sepenuhnya membuat kondisi dinegara ini menjadi lebih baik. Kondisi
Dahomey terus bergolak pascakemerdekaan. Beberapa kali terjadi kudeta dan
pergantian rezim, hingga akhirnya kekuasaan di ambil alih oleh Mathieu Kerekou,
ia merupakan penganut paham marxisme. Ia mengubah negara kembali menjadi Benin.
Pada akhir 1980-an, Kérékou meninggalkan Marxisme dan mengambil keputusan untuk
mendirikan kembali demokrasi. Dia dikalahkan dalam pemilu 1991, tetapi ternyata
menang lagi tahun 1996.
Benin yang
dulunya disebut Dahomey mempunyai wilayah 112.622 km2.Negeri ini
merupakan jalur lahan sempit yang panjangnya kira-kira 670 Km, tetapi lebarnya
hanya 125 Km pada garis pantainya. Benin terletak diteluk Guinea dan di batasi
oleh Nigeria di sebelah timur. Togo di sebelah barat, serta Niger dan Burkina di
sebelah utara. Di Benin terdapat sebuah Gedung di Abomey, yang dahulunya adalah
ibukota salah satu kerajaan kuno di Benin, dansekarang gedung tersebut yang
dulunya merupakan istana agung kerajaan kuno,yang sekarang menjadi sebuah
museum. Abomey semula didirikan sebagai ibukota kerajaan kuno Dahomey pada abad
ke-17 karenamuseumnya, sekarang kota ini merupakan daya tarikbagi pariwisata
utama. Abomey juga merupakan pusat perdagangan dan mempunyai beberapa industry
kecil.
Sejarah ketiga kerajaan kuno di Benin juga tercermin dalam bahan sandang
berwarna-warni yang kebanyakan di tenun oleh para pria di halaman museum itu.
Bahan sandang itu di hias rias dengan lambing-lambang dan pemandangan yang
dicuplik dari kehidupan para raja serta dengan pola dan rancangan yang
melukiskan kehidupan di negeri itu saat ini.
Seperti halnya sebagian besar penduduk Negara Afrika di sebelah selatan Sahara.
Penduduk Benin pun berbhineka dalam hal bahasa dan kebudayaan. Dalam hal
berbahasa penduduk Benin menggunakan bahasa resmi Benin yaitu bahasa Prancis,
bahasa resmi ini sering digunakan di sekolah ataupun di kantor. Untuk bahasa
fon dan Yoruba banyak digunakan di benin bagian selatan, sedangkan bariba dan
dendi merupakan bahasa terpenting yang di gunakan oleh mereka yang
tinggal di utara. Benin juga merupakan salah satu negara yang mengalami
perekonomian buruk di Afrika. PDB Benin yang sebelumnya tumbuh sekitar 4%,
turun menjadi 2,5% di tahun 2010. Tetapi setelah mengalami kemerdekaan Ekonomi
pertanian sangatlah menonjol di Benin, sehingga hamper seperdua dari pebduduk
yang tinggal di negeri ini bertani untuk mnyambung hidup, sepeti orang-orang
Fon, Adja, Aizo, Pedah, Mina, Pla, yang tinggal di bagian selatan, melakukan
kegiatan pertanian, peternakan da perikanan. Untuk pertanian seperti
produk-produk kelapa, baik tunas maupun minyaknya mencakup tiga seperempatnya
nilai ekspor Negara itu, sedangkan kapuk, kapas, kopi, kacang tanah, jagung dan
tembakau merupakan hasil pertanian lain yang penting. Lebih banyak lahan di
manfaatkanuntukpenanaman jagung dari pada untuk tanaman pangan lainnya.
Perkebunan kelapa disepanjang pesisir Benin adalah perkebunan rakyat atau
Negara. Sebain hasilnya untuk kosumsi dalam negeri dalam bentuk daging atau
minyak kelapa, sedangkan yang sebagian lagi di ekspor dalam bentuk kopra
(daging kelapa yang dikeringkan).
Kelompok lainnya yakni orang orang Yoruba, berasal dari Nigeria bermukim
diperbatasan tenggara Benin. Penduduk mereka sangatlah terampil dalam bidang
pemasaran dan perdagangan, sedangkan kelompok Bariba, Somba, dan Pilapila yang
tinggal di daerah tengah dan utara Benin sebagaian besar melakukan pertanian.
Ada juga kelompok lain yang hidup di daerah utara Benin yaitu orang Peul
(Peuhl),atau yang juga dikenal dengan sebutan orang Fulani. Mereka sebagian
besar adalah peternak atau pengembala kambing,biri-biri, dan sapi dari satu
tempat ke tempat lain, orang pul in tdak memiliki tempat yang tetap atau sering
berpindah-pindah.
Di Benin sebagian besar Fasilitas pendidikan terletak dipusat perkotaan
dibagian selatan Benin, oleh karena itu anak-anak di daerah itu berpeluang
besar untuk bersekolah di bandingkan dengan mereka yang hidup di sebelah utara.
Berkat adanya desentralisasi dan pembangunan gedung sekolah yang baru di
seluruh negeri sehingga di bagian utara sebagian telah berpendidikan.